14 Sept 2013

Hikam no 3

Hikam no 3

“Keinginan yang kuat (himmah) tidak dapat menembus tirai takdir.”

Pengertian himmah

Menurut Ibnu Qoyyim ra., bahwa himmah adalah awal hasrat. Secara khusus, orang-orang mengartikannya sebagai puncak hasrat. Hammu adalah permulaan hasrat, dan himmah adalah puncak hasrat.

Ustadz Salim Bahreisy dalam terjemahnya menambahkan dengan mengutip ayat-ayat Al-Quran berikut:

“Al Qur’an itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam, (yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.”(QS. At-Takwir [81]:27-29)

Juga,

“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Insan [76]:30)

Dalam Al-Quran, persoalan takdir Allah firmankan dengan serangkaian ayat-ayat-Nya yang membutuhkan qalb/hati yang suci dari penyakit-penyakitnya serta akal nalar yang memenuhi kaidah mantiq/hukum logika yang tertib. Karena seandainya kita memahami ayat-ayat tersebut sepotong-sepotong dan tidak menganalisis secara nalar dengan paripurna, ditambah kemudian hati kita sedang terkuasai oleh penyakit melampiaskan hawa nafsu diri, maka kita pun akan salah dalam menangkap makna takdir seperti yang Allah kehendaki.

Sekedar menambah wawasan kita tentang takdir dalam Al-Quran, terdapat ayat-ayat yang menerangkan bahwa Allah-lah yang memberi hidayah/petunjuk atau pun menyesatkan kepada kita, misalnya:

“Maka apakah orang yang dijadikan menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik? Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya; maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. Fathir[35]:8)

Namun pada ayat-ayat lainnya disebutkan bahwa kita yang hendaknya mengubah keadaan diri kita.

“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS.Ar-Ra’d[13]:11)

Dalam memahami persoalan takdir yang nampak rumit namun penting dalam kehidupan kita, sesungguhnya kita (saya lebih tepatnya) benar-benar memerlukan bimbingan seorang guru yang telah memperoleh kesempurnaan ma’rifatullah.
Baca selengkapnya
Hikam no 2

Hikam no 2

“Keinginanmu untuk tajriid pada saat Allah menegakkan engkau di dalam asbaab merupakan syahwah khafiyyah (syahwah yang tersembuni/tersamar).
Dan keinginanmu kepada asbaab pada saat Allah sedang menegakkan engkau di dalam tajriid merupakan suatu kejatuhan dari himmah al-’aliyyah (himmah yang tinggi).”


Tajrid adalah pemurnian batin seorang hamba oleh Allah swt., sehingga ketika si hamba beribadah serta mengagungkan Allah dengan kondisi keyakinan yang kuat terhadap jaminan Allah terhadap kebutuhan hidupnya.
Contoh tajriid:
- shalat
- tahajjud
- dzikrullah
- shadaqah, dll.

Sedangkan yang dimaksud masih dalam asbaab adalah semua perbuatan kita masih dalam wilayah hukum kausalitas/sebab-akibat.

Syahwat khoffiyah adalah tarikan pada selain Allah yang tersembunyi/tersamar. Sedangkan himmah al-‘aliyyah adalah semangat tinggi berma’rifat yang Allah anugrahkan kepada hamba-hamba-Nya yang Dia pilih.

Ustadz Salim Bahrisy dalam terjemahnya menambahkan sbb:

Sebab kewajiban kita sebagai seorang hamba, adalah menyerah kepada apa yang dipilihkan oleh majikannya. Lebih-lebih apabila majikan itu Allah yang mengetahui benar-benar apa yang menguntungkan dan yang menyusahkan bagi kita.

Dan tanda bahwa Allah menempatkan diri kita dalam golongan Al-asbab (golongan yang harus berusaha kasab/bekerja adalah bila terasa ringan bagi kita mengerjakan pekerjaan/kasab tersebut, dan hal itu tidak menyebabkan kita meninggalkahn kewajiban-kewajiban agama. Juga dengan hasil kerja itu tidak menambah ketamakan kita pada dunia serta melupakan hak orang lain.

Sebaliknya, tanda bahwa Allah SWT telah mendudukkan seseorang dalam golongan Ahli tajrid (hamba yang tidak berkewajiban kasab karena keyakinannya bahwa Allah adalah Ar-Razzak sedemikian kuat Dia tancapkan ke dalam qalb-nya) adalah bila Allah memudahkan baginya kebutuhan hidupnya dari jalan yang tak disangka (min ghairi laa yahtasib), kemudian sekiranya terjadi kekurangan jiwanya tetap tenang karena bersandar kepada ketawakalannya kepada Allah dan tidak berubah dalam menunaikan kewajiban-kewajiban agamanya.

Syaikh Ibnu Aththoilah diriwayatkan pernah berkata: “Beberapa kali aku telah meninggalkan pekerjaan kasabku tetapi terpaksa kembali berkasab, sehingga akhirnya akulah yang ditinggalkan kasab itu, maka tiadalah aku kembali kepadanya lagi. Seorang murid merasa, bahwa tak mungkin sampai kepada Allah dan masuk dalam barisan para kekasih Allah dengan cara sibuk dengan ilmu-ilmu syariat lahir serta bergaul dengan masyarakat, lalu ia menghadap Syaikh-nya. Tapi sebelum ia bertanya, Sang Syaikh bercerita,’Ada seorang yang terkemuka dalam ilmu syariat lahir, ketika ia mulai dapat merasakan sedikit dari perjalanan suluk ini, ia datang menemuiku dan berkata,’ Aku akan meninggalkan kebiasaanku untuk mengikuti perjalananmu Guru.’ Syaikh kemudian berkata, ’Bukan itu yang harus kamu lakukan, namun tetaplah dalam kedudukanmu semula, sedang apa yang yang akan Allah berikan kepadamu pasti sampai (tercapai) kepadamu.
Baca selengkapnya

13 Sept 2013

Meresapi Makna La Hawla Wa La Quwwata Illa Billah

Arti La Hawla Wa La Quwwata Illa Billa dan Ulasan Hikam Athaillah yang Pertama

“Diantara tanda-tanda orang yang senantiasa bersandar kepada amal-amalnya adalah kurangnya rasa harap (kepada rahmat Allah).

Syekh Fadhlala Haeri memberikan syarah (ulasan) sbb:

Jika kita berasumsi bahwa sumber kekuatan di balik usaha-usaha adalah diri kita sendiri, kita akan kecewa kala hasilnya tidak sesuai dengan harapan-harapan kita. Tetapi, kalau kita benar-benar berserah diri kepada Allah SWT, maka kita akan menyaksikan satunya asal dan penyebab di balik ikhtiar, peranan pribadi kita dalam melaksanakannya, dan juga hasilnya. Kegagalan kemudian hanya akan kita anggap sebagai peringatan untuk memperkuat kesadaran kita akan Kehendak, Rahmat, dan Ke-Pemurahan Allah SWT.

Di mata shalihin, syuhada’, shidiqqin, serta para Nabi as. terdapat kesatuan total dalam ikhtiar dan hasil.

Tambahan dalam buku terjemahan Al-Hikam oleh Ustadz Salim Bahreisy, di hal 10-11:

Kalimat: Laa ilaha illallah (tiada Tuhan selain Allah), berarti tidak ada tempat, berlindung, berharap kecuali Allah. Tiada yang menghidupkan dan mematikan, tiada yang memberi dan menolak melainkan Allah.
Dhohirnya syariat menyuruh kita berusaha beramal, sedang hakikat syariah melarang kita menyandarkan diri pada amal usaha itu, agar tetap bersandar kepada karunia rahmat Allah.

Kalimat: Laa haula wa laa quwwata illa billahi (tiada daya dan kekuatan selain Kekuatan Allah), tak ada daya untuk mengelakkan diri dari bahaya kesalahan. Dan tak ada kekuatan untuk berbuat amal kebaikan kecuali dengan bantuan pertolongan Allah dan karunia rahmat-Nya semata-mata.

Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal”. Katakanlah: “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?”(QS. Yunus [10]:59)

Sedang bersandar pada amal usaha sendiri itu berarti lupa pada karunia rahmat Allah yang memberi taufiq hidayah kepadanya yang akhirnya pasti ia ujub, sombong, merasa sempurna diri, sebagaimana yang telah terjadi pada Iblis ketika diperintahkan bersujud kepada Adam as, ia berkata:”Aku lebih baik dari dia (Adam)”
Juga telah terjadi pada Qarun yang berkata:”Sesungguhnya aku memperoleh kekayaan ini karena ilmuku semata-mata.” (QS. Al-Qashash[28]:78)

Apabila kita dilarang menyekutukan Allah dengan berhala, batu, kayu, pohon, binatang dan manusia, maka janganlah menyekutukan Allah dengan kekuatan diri sendiri, seolah-olah merasa sudah cukup kuat dan dapat berdiri sendiri tanpa pertolongan Allah, tanpa rahmat taufiq hidayah dan karunia Allah.

Sedangkan kita hendaknya meneladani Nabi Sulaiman as. ketika bersyukur mendapat istana Ratu Bilqis. Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, beliau pun berkata: “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barang siapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”.(QS. An-Naml[27]:40)


Wallahu a’lam bi shawwab
Baca selengkapnya