Hikam no 2

“Keinginanmu untuk tajriid pada saat Allah menegakkan engkau di dalam asbaab merupakan syahwah khafiyyah (syahwah yang tersembuni/tersamar).
Dan keinginanmu kepada asbaab pada saat Allah sedang menegakkan engkau di dalam tajriid merupakan suatu kejatuhan dari himmah al-’aliyyah (himmah yang tinggi).”


Tajrid adalah pemurnian batin seorang hamba oleh Allah swt., sehingga ketika si hamba beribadah serta mengagungkan Allah dengan kondisi keyakinan yang kuat terhadap jaminan Allah terhadap kebutuhan hidupnya.
Contoh tajriid:
- shalat
- tahajjud
- dzikrullah
- shadaqah, dll.

Sedangkan yang dimaksud masih dalam asbaab adalah semua perbuatan kita masih dalam wilayah hukum kausalitas/sebab-akibat.

Syahwat khoffiyah adalah tarikan pada selain Allah yang tersembunyi/tersamar. Sedangkan himmah al-‘aliyyah adalah semangat tinggi berma’rifat yang Allah anugrahkan kepada hamba-hamba-Nya yang Dia pilih.

Ustadz Salim Bahrisy dalam terjemahnya menambahkan sbb:

Sebab kewajiban kita sebagai seorang hamba, adalah menyerah kepada apa yang dipilihkan oleh majikannya. Lebih-lebih apabila majikan itu Allah yang mengetahui benar-benar apa yang menguntungkan dan yang menyusahkan bagi kita.

Dan tanda bahwa Allah menempatkan diri kita dalam golongan Al-asbab (golongan yang harus berusaha kasab/bekerja adalah bila terasa ringan bagi kita mengerjakan pekerjaan/kasab tersebut, dan hal itu tidak menyebabkan kita meninggalkahn kewajiban-kewajiban agama. Juga dengan hasil kerja itu tidak menambah ketamakan kita pada dunia serta melupakan hak orang lain.

Sebaliknya, tanda bahwa Allah SWT telah mendudukkan seseorang dalam golongan Ahli tajrid (hamba yang tidak berkewajiban kasab karena keyakinannya bahwa Allah adalah Ar-Razzak sedemikian kuat Dia tancapkan ke dalam qalb-nya) adalah bila Allah memudahkan baginya kebutuhan hidupnya dari jalan yang tak disangka (min ghairi laa yahtasib), kemudian sekiranya terjadi kekurangan jiwanya tetap tenang karena bersandar kepada ketawakalannya kepada Allah dan tidak berubah dalam menunaikan kewajiban-kewajiban agamanya.

Syaikh Ibnu Aththoilah diriwayatkan pernah berkata: “Beberapa kali aku telah meninggalkan pekerjaan kasabku tetapi terpaksa kembali berkasab, sehingga akhirnya akulah yang ditinggalkan kasab itu, maka tiadalah aku kembali kepadanya lagi. Seorang murid merasa, bahwa tak mungkin sampai kepada Allah dan masuk dalam barisan para kekasih Allah dengan cara sibuk dengan ilmu-ilmu syariat lahir serta bergaul dengan masyarakat, lalu ia menghadap Syaikh-nya. Tapi sebelum ia bertanya, Sang Syaikh bercerita,’Ada seorang yang terkemuka dalam ilmu syariat lahir, ketika ia mulai dapat merasakan sedikit dari perjalanan suluk ini, ia datang menemuiku dan berkata,’ Aku akan meninggalkan kebiasaanku untuk mengikuti perjalananmu Guru.’ Syaikh kemudian berkata, ’Bukan itu yang harus kamu lakukan, namun tetaplah dalam kedudukanmu semula, sedang apa yang yang akan Allah berikan kepadamu pasti sampai (tercapai) kepadamu.

Comments