30 Jun 2012

Derajat Kewalian; Mungkinkah Itu bagi Kita?

Oleh : Ahmed Tirmidzi El-Basyasyah


Pendahuluan


Mungkin Anda pembaca makalah ini akan tercengang dan bertanya-tanya, mengapa saya sebagai sang pemakalah disini mengangkat materi yang sangat tabu dan sakral yaitu “wali”. Banyak orang khususnya masyarakat di Negara kita Indonesia, yang salah persepsi tentang “wali”. Jika membicarakan “wali”, maka yang muncul di benak mereka ialah, wali adalah seorang yang sakti dan bukan manusia biasa yang memiliki banyak kelebihan di luar nalar manusia, seperti bisa berjalan di atas air, terbang di udara, bahkan bisa merubah buah aren menjadi emas. Ini seperti apa yang kita ketahui di Film Wali Sanga yang mempunyai banyak kesaktian (Karamah) ketika menyebarkan islam di Tanah Jawa. Klaim ini pun sudah terlanjur berkembang di masyarakat kita, jika tidak menunjukan adanya kesaktian maka dia bukan wali. Padahal sebenarnya, kesaktian-kesaktian itu bisa didapat seperti apa yang kita ketahui yaitu dengan mempelajari “Ilmu Hikmah” di pesantren, dengan mentirakati amalan-amalan khusus semacam puasa, membaca wirid tertentu dengan bilangan tertentu dan lain-lain (Riyadhah). Atau “Ilmu Sihir”, seperti apa yang penulis saksikan di acara televisi, seorang Dedy Corbuzier dan David Copperfield pun bisa berjalan diatas air dan terbang di udara. Dan ini parahnya lagi, ada seseorang “wali” yang ketahuan tidak shalat jum’at di masjid kampungnya, lantaran ia berdalih telah shalat jum’at di Masjidil Haram, Makkah Al-Mukarramah, orang-orang awam pun lantas mempercayai bahwa itu adalah karamahnya.


Ada juga yang berpendapat, bahwa derajat “wali” hanya diperuntukan bagi mereka yang keturunannya adalah keturunan wali, seperti dari nasab Rasulullah, para habib mempunyai peluang besar untuk menjadi wali sedangkan kita tidak. Atau seperti Raden Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) adalah seorang putera dari Sunan Ampel, yang telah menjadi wali seperti Ayahnya. Pernyataan ini ada benarnya, karena “tittle” wali itu dapat diraih karena dua faktor ; keturunan (Dzurriyah) atau usaha (Ikhtiar). Mengenai karamah, ada benarnya juga, jika semua itu adalah kelebihan-kelebihan atau karamah-karamah dari Allah SWT. atas kewaliannya, bukan dari setan. Bukan dari “Black Magic” yang dapat dipelajari siapa pun. Tentunya, seorang “wali” adalah yang sangat ketat dalam menjalani syariat, menjaga dirinya dari perbuatan dosa dan cinta kepada Allah SWT. dan Rasul-Nya, bukan yang meninggalkan shalat (Syariat).

Memang diakui, untuk sampai menjadi derajat wali tidaklah mudah perlu usaha dan banyak rintangannya. Tapi pun, tidak sesulit yang kita bayangkan, harus menyendiri dari keramaian orang, bertapa ke gunung sana guna mendekatkan diri pada Allah SWT. Contoh wali yang baik adalah Rasulullah SAW. hidup di tengah-tengah masyarakat, tapi tetap dekat dan selalu berhubungan kepada Allah SWT. Penulis Insya-Allah akan membahas semua ini secara gamblang dan praktis dalam kumpulan pertanyaan-pertanyaan, bahwa derajat kewalian begitu penting!

Apa itu wali? 

Dalam kamus Lisan Al-Arab karangan Ibnu Munzhir, secara etimologi, kata wali berasal dari Al-Waliyyu, yang berarti An-Nashir, Al-Bala yaitu penolong, pembela, kekasih, lawan kata dari Al-‘Aduwwu, musuh. Adapun arti terminologinya, Seorang penolong, pembela, kekasih, pecinta Allah dan Rasul-Nya yang tidak ada takut dan sedih di dalam diri mereka,

 “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa, bagi mereka berita gembira didalam kehidupan di dunia dan akhirat, tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat atau janji-janji Allah, yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” Yunus : ( 62 – 64)

Dijelaskan juga di dalam Hadist Qudsi, Dari Abu Hurairah RA., berkata: Rasulullah SAW. bersabda : Sesungguhnya Allah SWT. telah berfirman, “Barangsiapa memusuhi wali-Ku (Kekasih-Ku), sungguh Aku telah menyatakan perang terhadapnya, dan tidaklah seseorang bertaqarrub kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku sukai daripada hal-hal yang telah Aku fardhukan. Dan tidaklah seseorang hamba terus menerus bertaqarrub kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Dan apabila Aku telah mencintainya, jadilah Aku pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar dan penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat dan tangannya yang ia gunakan untuk berjuang dan kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Dan jika ia meminta kepada-Ku pasti Aku akan memberinya, dan jika ia minta perlindungan kepada-Ku pasti Aku memberinya perlindungan.” (HR. al-Bukhari)

Kenapa harus maqam wali yang dicari?

Maqam wali sangatlah penting. Allah SWT. telah menjanjikan dan memberikan kabar gembira bagi mereka, tidak akan ada ketakutan dan kesedihan bagi mereka di kehidupan dunia dan akhirat. Ketakutan dari segala macam musibah; bencana, ujian, cobaan, dan kesedihan ; kematian, penyakit, kekurangan rezeki dan sebagainya, karena semua itu para wali menyerahkannya kepada Allah, mereka bertawakkal, segala sesuatu dari Allah dan kembali kepada-Nya. Tidak ada ketakutan bagi mereka kehilangan atau kekurangan rezeki, karena didalam diri mereka ada sifat qana’ah dan tahu bahwa kesenangan yang abadi ada di akhirat kelak. Ataupun kesedihan ; kematian, penyakit, dan lainnya, cinta Allah-lah yang menjadikan hidup mereka selalu bahagia, bahwa itu semua adalah titipan dan tanda kasih-sayang Allah SWT. padanya.

Insya-Allah, di akhirat kelak, di masa yang mana manusia berada dalam ketakutan, di masa yang mana Allah SWT. murka semurka-murkanya, di masa yang mana tidak ada perlindungan kecuali dari-Nya, sang wali tidak akan ada ketakutan dan kesedihan, karena antara Allah dan mereka saling mencintai. Firman Allah SWT., “Barangsiapa memusuhi wali-Ku (kekasih-Ku), sungguh Aku telah menyatakan perang terhadapnya”. Ini adalah kalimat sang pencinta. Seperti kita mencintai seseorang, “Aku akan selalu menjaganya karena aku sayang kepadanya”.

Seorang wali akan selalu dibimbing oleh Allah SWT. karena Allah-lah kekasihnya. Segala permintaan mereka dikabulkan. Jika meminta perlindungan maka Allah siap memberinya. Memusuhi wali berarti memusuhi Allah Jalla Wa ‘Alaa.

Bagaimana seseorang bisa meraihnya?

Dalam kitab Minhajul ‘Abidin karangan Waliyullah Imam Ghazali RA. menjelaskan, seseorang yang ingin mendekatkan diri atau sampai (wushul) kepada Allah Jalla Wa ‘Alaa. harus menjalani beberapa tahapan (‘Aqabah). Jika tahapan-tahapan ini dapat dijalaninya, maka ia akan sampai kepada Tuhannya, dekat kepada-Nya, yaitu :

1.       Tahapan ilmu dan ma’rifat
2.       Tahapan taubat
3.       Tahapan godaan
4.       Tahapan rintangan
5.       Tahapan pendorong
6.       Tahapan cacat-cacat
7.       Tahapan puji dan syukur

Tahapan Ilmu dan Ma’rifat

Seseorang yang ingin beribadah kepada Allah dengan benar agar dapat terhindar dari segala kesalahan dan mara bahaya, maka harus mengikuti tuntunan cara beribadah seperti apa yang diajarkan Rasulullah SAW. Semoga Allah SWT. memberikan taufik-Nya kepada kita. Amin. Maka untuk itu, kita membekalinya dengan ilmu dan ma’rifat. Sebab, beribadah tanpa bekal ilmu adalah sia-sia, karena ilmu adalah pangkal dari segala perbuatan. Dan antara ilmu dan ibadah adalah ibarat dua mata rantai yang saling berkaitan tidak dapat dipisahkan.

Al-Qur’an diturunkan Allah SWT. untuk umat Nabi Muhammad SAW. berisikan ilmu-ilmu seperti ilmu ushul aqidah, ilmu tauhid, ilmu ushul fiqh, ilmu fiqh, ilmu lughah, ilmu balaghah dan lainnya, bahkan sampai ilmu sains pun dibahas didalamnya. Ilmu-ilmu inilah yang melandaskan kita untuk tahu bagaimana caranya beribadah, bagaimana mengetahui aqidah yang benar, dan sebagai landasan-landasan dalam mengetahui syariat islam itu sendiri. Rasulullah SAW. bersabda tentang keutamaan ilmu dan ibadah,

نظرة الى العالم احب الي من عبادة سنة صيامها و قيامها

“Melihat orang berilmu (beribadah), aku lebih sukai dari pada beribadah satu tahun, rajin berpuasa, dan mendirikan shalat malam (tanpa ilmu)”. Sangat jelas, bahwa kedudukan ilmu sangat diutamakan dalam beribadah. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Sabdanya juga,

العلم امام العمل و العمل تابعه

“Ilmu adalah imamnya amal (ibadah), dan amal adalah makmumnya.” Oleh karena itu, ilmu merupakan inti (pokok) yang harus didahulukan dan diikuti oleh ibadah. Apa faedahnya berilmu? Pertama, agar benar dan berhasil dalam menjalankan ibadah. Dengan ilmu, maka kita mengetahui Dzat yang harus disembah, yaitu Allah-lah yang patut disembah. Kedua, agar ibadah yang kita jalani selamat dari macam penyakit, yang dapat merusak ibadah.

Adapun yang dimaksud ilmu ma’rifat adalah orang yang harus mengenal empat perkara :

1.       Mengenal dirinya, bahwa dirinya adalah hamba Allah yang lemah dan membutuhkannya.
2.       Mengenal Tuhannya, mengetahui dengan sebenar-benarnya dan yakin bahwa hanya Allah yang berhak disembah dan tempat kembali.
3.       Mengenal dunia, yaitu mengetahui keburukan dan kefanaan dunia.
4.       Mengenal akhirat, mengetahui begitu pentingnya kita mempersiapkan untuk akhirat.




Tahapan Taubat

Wajib bagi orang-orang yang menjalankan ibadah untuk melakukan taubat. Sebab diwajibkan taubat ada dua hal : Pertama, agar kita taat kepada-Nya. Sebab, perbuatan dosa menghalangi taat yang akan menghilangkan ketauhidan, menghalangi beribadah pada Allah dan berbuat baik. Orang sering melakukan dosa hatinya menjadi hitam, kelam, dan keras. Tidak ada kebersihan dan kejernihan, tidak akan ikhlas dan senang dalam beribadah. Jika Allah tidak memberikan rahmat, maka hati yang demikian itu akan menjerumuskan ke dalam kekufuran. Kedua, agar ibadah kita diterima Allah SWT. karena taubat merupakan inti dan dasar untuk diterimanya ibadah.

Taubat yang dijalankan tanpa adanya pendahuluan (Mukaddimah) akan terasa berat. Oleh sebab itu, dalam bertaubat terdapat tiga pendahuluan :
1.       Kita menyadari bahwa dosa adalah sesuatu yang amat buruk.
2.       Sadar dan ingat akan kerasnya hukuman dan murka Allah SWT.
3.       Menyadari kelemahan dan kurangnya tenaga kita untuk menahan semua itu.

                Sangatlah beda antara penyesalan dan taubat. Penyesalan dengan mengatakan “aku menyesal”, kebanyakannya hanya terucap di bibir saja dan bukan dari hati yang paling dalam, bukan dari ketulusan hati, alias palsu. Agar penyesalan itu benar-benar menyesal, tidak diulangi lagi, maka harus didasari tiga pendahuluan tersebut, agar menjadi taubatan nasuha. Jika taubat itu telah kita laksanakan dengan baik yaitu kita bertaubat untuk tidak akan mengulangi lagi, lalu muncul kekhawatiran akan mengulangi lagi, maka itu benar-benar bisikan dari setan. Sekali lagi itu bisikan dari setan. Tidak lain, setan ingin kita mati dalam keadaan su’ul khatimah, jelek akhirnya, dengan menanamkan keraguan, dan akhirnya kita malas beribadah. Kalau sudah malas ibadah, tanpa kita tahu ternyata ajal menjemput kita, maka kita mati dalam keadaan berdosa.

Tahapan godaan (Awaiq)

   Dalam beribadah pun ada rintangan dan godaan yang harus dihindari, sehingga ibadah kita tegak dan kokoh. Godaan ibadah ada empat macam :

       Dunia dan seisinya, yaitu semua yang tidak bermanfaat untuk akhirat. Untuk menyelamatkan diri dari segala godaan, kita harus menjauhi dan memalingkan dari dunia itu, yakni jiwa dan raga tidak sepenuhnya untuk dunia. Bisakah urusan dunia dan akhirat berjalan bersamaan? Dunia dan akhirat ibarat dua wanita yang dimadu. Jika seseorang dapat menggembirakan yang satu, maka yang satu lagi akan kecewa! Seperti apa yang diriwayatkan oleh Abu Darda’ RA., “Aku berkeinginan menghimpun dagang dengan ibadah. Tetapi, kedua-duanya tidak dapat berkumpul. Maka, aku memilih ibadah dan meninggalkan dagang.” Itu adalah tariqat Abu Darda’ RA. Sedangkan berbeda dengan tariqat Abdurrahman bin ‘Auf RA., beliau menjalankan ibadah sambil berdagang. Rasulullah SAW. Bersada, “Barangsiapa mencintai dunia, urusan akhiratnya akan tercecer.

Maka sebab itu, kita harus Zuhud memperbanyak dan mempertinggi nilai amal.
Pengertian zuhud adalah tidak mengejar kesenangan dunia yang tidak ia miliki, membagikan kesenangan dunia yang terkumpul padanya, dan tidak menghendaki dunia dalam hatinya dan tidak mengusahakannya. Allah berfirman menegaskan tentang zuhud, “Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki…” (al-Isra’ : 18)

2.       Makhluk Tuhan. Sedangkan yang mewajibkan kita agar menjauhi makhluk ada dua perkara. Pertama, kebanyakan makhluk akan memalingkan kita dari ibadah dengan memasukan kebingungan-kebingungan dalam hati kita. Kedua, kebanyakan manusia dapat merusak ibadah yang kita laksanakan. Dengan ajakan yang menjurus kepada perbuatan riya dan bermegah-megahan, jika tidak ada perlindungan dari Allah SWT.

3.       Setan. Yang mewajibkan kita untuk memerangi dan mengalahkan setan ada dua. Pertama, setan adalah nyata-nyata musuh yang menyesatkan. Kedua, sudah menjadi tabiat setan untuk selalu memusuhi anak-cucu Adam. Guna memerangi dan mengalahkan setan, menurut pendapat ulama ada tiga cara. Pertama, harus mengetahui tipu daya setan, sehingga dia tidak akan berani mengganggu kita. Kedua, anggaplah remeh ajakan setan itu. Yakni, jangan memberi perhatian, jangan sekali-kali ajakannya kita ambil hati, apalagi dituruti. Ketiga, berdzikir dengan lisan maupun hati. Nabi SAW. Bersabda, “Sesungguhnya dzikrullah itu menyakitkan setan. Seperti menderitanya anak Adam dengan penyakit aqallah yang bersarang di lambung”

4.       Hawa nafsu. Hawa nafsu adalah musuh yang sangat mencelakakan, menimbulkan petaka yang amat besar, dan sukar dihindari. Kita harus waspada terhadap hawa nafsu karena dua perkara; (1) Karena hawa nafsu merupakan musuh dari dalam. Bukan musuh dari luar, seperti halnya setan. (2) Karena hawa nafsu adalah musuh yang disukai. Manusia yang mencintainya akan menutup mata terhadap segala keaibannya.

Tahapan rintangan (Awarid)

Rintangan itu ada empat macam :
1.       Rezeki dan tuntutan nafsu. Keduanya dapat diawasi dengan tawakkal. Firman Allah SWT., “Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang beriman” (al-Maidah : 23)
2.       Bahaya-bahaya sampingan dari bahaya-bahaya utama. Seperti thulul ‘amal, merasa tidak akan mati.
3.       Takdir Allah dan macam-macam takdir.
4.       Kesulitan dan musibah.

Tahapan pendorong 

Diantaranya ; Pertama, rasa takut selalu kepada Allah untuk tidak berbuat maksiat (Khauf). Kedua, harapan kepada Allah (Raja’) agar selalu taat kepada-Nya. Allah berfirman,“… sedang mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap…” (al-Anbiya : 90)

Adapun mukaddimah (pendahuluan) seseorang untuk selalu khauf kepada Allah SWT. adalah sebagai berikut:

1.       Mengingat segala dosa yang telah diperbuat, serta banyaknya musuh yang membawa kita pada kezhaliman. Sedangkan kita tidak dapat lepas darinya, dan terus-menerus mengikuti hingga kini.
2.       Mengingat beratnya siksa Allah SWT. bagi orang-orang durhaka, dan kita tidak akan kuat menanggungnya.
3.       Senantiasa sadar akan kelemahan diri dalam menanggung pedihnya siksa.
4.       Selalu ingat akan kekuasaan Allah SWT. terhadap diri kita. Dia dapat berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya, kapan saja Dia menghendaki.

Dan adapun juga mukaddimah (pendahuluan) seseorang untuk selalu raja’ kepada Allah SWT. :

1.       Senantiasa mengingat karunia Allah SWT. yang telah kita rasakan.
2.       Senantiasa janji Allah SWT. mengenai pahala yang berlimpah, kasih sayang-Nya yang besar.
3.       Selalu mengingat pemberian Allah SWT. yang sangat besar, baik dalam urusan agama maupun kebutuhan dunia.
4.       Selalu mengingat luas dan besarnya rahmat Allah SWT.

Tahapan cacat-cacat

Cacat-cacat disini adalah sifat riya, ujub, kikir (Bakhil) dan tidak menjaga diri dari hal-hal tercela. Sifat-sifat ini semua bisa menggugurkan pahala ibadah kita. 

Tahapan puji dan syukur

Setelah kita berhasil menempuh tahapan yang enam, dan telah berhasil mengamalkan macam ibadah yang telah dikemukakan, kini saatnya kita bersyukur dan memuji Allah SWT. atas karunia-Nya. Kesyukuran ini karena dua sebab. Pertama, agar kekal kenikmatan yang sangat besar itu, sebab jika tidak disyukuri akan hilang. Kedua, agar nikmat yang telah kita dapatkan bertambah.

Kapan seseorang bisa mencapai derajat wali? 

Seseorang akan mencapai derajat wali, jika Allah telah mencintainya dan dia mencintai-Nya. Yaitu, dengan menjalankan semua apa yang difardhukan Allah hingga Allah benar-benar mencintainya. Lalu menambahnya dengan mengerjakan amalan-amalan sunnah hingga Allah tambah cinta kepadanya, “…dan tidaklah seseorang bertaqarrub kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku sukai daripada hal-hal yang telah Aku fardhukan. Dan tidaklah seseorang hamba terus menerus bertaqarrub kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya…”

Waliyullah Syaikh Abdul Qadir QS. menjelaskan dalam Kitab Tafsirnya Al-Jailani, “Keistiqamahan lebih baik dari pada seribu karamah.” Karena keistiqamahan, menjaga amal ibadah agar selalu dijalani (kontinu), sangat diutamakan dari pada karamah dari Allah itu sendiri.

Adakah wali di zaman sekarang? 

Tentu saja ada. Dan tidak usah diperdebatkan lagi keberadaannya dimana-dimananya. Wali-wali Allah bertebaran di seluruh dunia, merekalah yang menjaga kestabilan dunia ini dengan dzikir dan taqwa kepada Allah. Rasulullah SAW. pernah menyatakan: “Orang-orang Sholeh dikalangan ini (umat Muhamad SAW.) berjumlah tiga puluh orang. (Mereka itu) seperti Khalilur-Rahman (orang yang amat dekat dengan Allah) ‘Azza wa Jalla. Bila seorang dari mereka wafat, Allah menggantikan pada kedudukannya dengan orang lain”. Hadits ini dikemukakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dengan rawi-rawi shahih.

Siapa saja wali zaman dahulu hingga sekarang?

Waliyullah itu sangat banyak sekali jumlahnya, bukan hanya satu dua tapi mungkin ratusan bahkan ribuan. Karena wali-wali itu sendiri adalah mereka yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, yaitu umat islam, mu’minin. Contoh, seperti Wali Sanga di Indonesia, yang berjumlah sembilan, meskipun kenyataannya lebih dari itu. Atau wali yang masyhur semisal Syaikh Abdul Qadir Jailani, Syaikh Imam Ghazali, dan banyak lagi.

Tentunya, wali yang paling agung di antara wali-wali adalah Nabi Besar Kita Muhammad SAW. dan beserta sahabat-sahabatnya, yang kecintaan mereka kepada Allah SWT. melebihi kita yang hidup di akhir zaman ini.

Penutup

Benar-benar pemakalah kelelahan menyelami ilmu tasawwuf ini, kedalamannya laksana lautan yang tak cukup diselami hanya dengan berenang, tapi juga harus dengan alat renang yang canggih, supaya bisa meraup butiran-butiran mutiara di bawah sana. Iman dan ketaqwaanlah, dua alat super canggih untuk dapat menggali ilmu-ilmu Allah SWT. Dan yang Anda baca ini masih terdapat banyak kekurangan disana-sini, karena kelemahan penulis dan keinginan “coba-coba” menyelami lautan ilmu Allah yang begitu luas, yang sejatinya bukanlah penulis pakar dibidangnya.
Mudah-mudahan maklumat ringkas ini bisa memberikan kita pengetahuan bahwa derajat wali merupakan sebuah kenikmatan yang besar, tidak ada ketakutan dan kesedihan bagi mereka di dunia dan akhirat. Dan sangat mungkin sekali bagi kalian menggapai maqam wali. (Wallahu a’lam bisshawab)

Daftar Pustaka

Departemen Agama RI. 2007. Al-Qur’an dan Terjemahnya Edisi Tahun 2002. Jakarta: CV Penerbit Darus Sunnah.
  
Imam Abu Abd Allah ibn Muhammad ibn Ali al-Hakim al-Tirmidzi. 1993. Adab al-Nafs wa Riyadhat al-Nafs. Kairo: Al-Dar al-Mishriyyah.

Ibn Manzhur. Lisan al-‘Arab. Bairut: Dar Shadir.

Syaikh Imam Ghazali. Minhaj al-‘Abidin. 1986. Jakarta: Darul Ulum.

Syaikh Abd al-Qadir al-Jailani. Tafsir Jilani. Turki: Markaz al-Jaylani li al-Buhuts al-Islamiyah.

Musthafa ibn al-‘Adawy. Shahih al-Hadist al-Qudsiyyah. Cet. Ke-1 Kairo: Maktabah al-Shafa.
Muhammad Dhiya ad-Din al-Kurdy. Nasy-ah al-Tasawwuf al-Islami. Kairo: al-Mathba’ah al-Fanniyah.

Bagikan

Jangan lewatkan

Derajat Kewalian; Mungkinkah Itu bagi Kita?
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.