Mencari Makna di Balik Kemiskinan dan Iman: Renungan di Warung Makan 15 Oct 14




Setelah vakum cukup lama dari kegiatan berpikir berat, saya dan teman baik saya berbincang di sebuah warung. Percakapan yang awalnya ringan berkembang menjadi lebih serius.

Pembicaraan dimulai dari kata "susah", kemudian merambah ke "orang susah", "miskin", dan "kemiskinan", serta dampaknya.

Dengan santai, teman saya berkata, "Kenapa orang bisa dengan mudah menukar seorang anak dengan harga yang murah seperti itu?" Saya menimpali dengan blak-blakan, "Kamu ngomong begitu karena perutmu kenyang!"

- "Jadi masalahnya karena lapar? Saya juga sering lapar!"
- "Bukan hanya lapar, tetapi kelaparan yang berlangsung lama. Kondisi ekonomi yang sulit, serta pikiran yang setiap hari hanya berfokus pada 'bagaimana caranya agar bisa makan hari ini?'"
- "Semua itu tidak akan terjadi kalau imannya kuat!"
- "Keadaan seperti itu bisa sangat mudah menggoyahkan iman seseorang dan menukarkannya demi mengganjal perut. Jangan salahkan mereka. Kamu baru akan tahu bagaimana rasanya jika bertukar posisi dengan mereka. Kalau hanya kesulitan sementara, apalagi dalam kehidupan yang cukup dan harus selalu disyukuri, itu tidak akan mudah menggoyahkan iman seseorang, dengan catatan benteng keimanannya sudah dibentuk sejak lama dan selalu diperkuat!"

- "Kalau begitu, pemerintah yang harus bertanggung jawab atas setiap keluhan rakyatnya dan umat Islam yang mengalami krisis iman seperti di atas."

Saya pun terdiam, tidak melanjutkan percakapan.

Yang bertanggung jawab bukan hanya pemimpin dan pemerintah, tetapi juga orang-orang Islam yang mampu di sekitarnya. Mengapa mereka tidak memerhatikan tetangga mereka? Mengapa mereka tidak peduli pada saudara mereka? Padahal mereka hidup berdampingan.

Ah, sudahlah! Urusan ini terlalu berat jika hanya dibicarakan. Lebih baik segera bertindak nyata tanpa banyak kata. Hal ini bisa dilakukan dengan bersedekah atau berdonasi kepada lembaga keuangan yang tepat sasaran, terjun ke dunia pendidikan, baik formal maupun informal, menumbuhkan rasa peduli terhadap sesama, tidak cuek, dan memperhatikan lingkungan sekitar.

Di sisi lain, kebahagiaan tergantung pada kadar iman seseorang. Dan kadar iman setiap orang hanya diketahui oleh Tuhan dan mungkin orang itu sendiri. Barangkali, seseorang yang kondisinya terlihat menyedihkan bagi orang lain lebih pandai bersyukur dibandingkan orang yang hidupnya terlihat lebih dari cukup. Dia lebih memahami dan merasakan arti kebahagiaan.

Comments