Setelah beberapa
tahun vacum dari aktivitas coret-coret dan goyang pena, di awal tahun ini saya
akan kembali membangkitkan spirit dunia tulis saya yang telah lama terkubur.
Bertahap, tapi pasti dan continue.
Oke, untuk
postingan ini saya akan bercerita sedikit tentang pahitnya kehidupan yang saya
lalui. Bukan sebuah keluhan, lebih pas nya berbagi cerita. Bagaimana saya
melewati masa ababil, lalu labil, kemudian berlanjut pada masa stabil. Yah,
ababil-labil-stabil. .
Sudah menjadi
sunnah kehidupan, bahwa setiap manusia hidup di dunia ini dengan nasibnya
masing-masing. Jika seseorang punya mobil mewah, hidup di tengah kecukupan
berlebih, itulah nasibnya. Anda punya nasib kehilangan uang ratusan geneh, yah,
itu emang udah nasib Anda. Dan harus diterima dengan penuh pelajaran :P Dan
saya, nasib saya, yang menjadi bagian dari cerita hdup saya adalah telat
kuliyah karena tertinggal di tingkat yang sama selama tiga tahun. Tiga tahun,
jika waktu selama itu tidak ada kendala dalam kuliyah, belajarnya mulus, maka kita
cuma butuh setahun lagi untuk nyelesain studi di universitas dan menyandang
gelar BA ato Lc.
Sejak saya lahir
ke dunia sampe saya nulis ini, itu adalah masa terparah yang saya lalui. Masa
suram dan penuh kegelapan. Nggak ada tujuan hidup yang jelas. Semua prinsip
yang tertanam dari jauh-jauh hari entah ke mana ngumpetnya. Yang pastinya nggak
ada di saku celana :v
Akhirnya, pada
suatu ketika, keadaan demikian membuat saya duduk termangu di sebuah balkon
rumah di kelilingi dedaunan layu dan kering. Teringat beberapa patah kata:
Masa gemilang
telah pergi
entah kemana
Masa suram ada
di depan mata
Masa kebangkitan
masih belum bisa diraba
kapan waktunya
tiba
Semua gelap
gulita
Lilin tak
menyala
Obor pun tak ada
Lampu? Sungguh
sayang,
ini zaman
baheula. . .
Hidup ini indah,
jika kita menikmatinya. Namun terlalu sering jatuh malah akan merusak
keindahannya. Kenapa saya harus tinggal di tingkat yang sama lebih dari waktu
normal? Apa sebabnya? Nggak belajar? nggak juga. Nggak ngerti pelajaran dan
bahasanya? Ah, itu masalah sepele. Sejak SD saya sudah disuguhin buku-buku
berbahasa arab. Ato terserang bebel otak? Duh, gawat ini. Pokoknya emang udah
gaSwat dan nggak bisa diganggu gugat. Namun nggak menutup kemungkinan jika dua
hal di atas memang benar-benar saya alami. Nyatanya, dari sekian banyak
matakuliah, beberapa di antaranya baru bangat saya bisa cerna pembahasannya
ketika saya berada di tahun ke tiga, tahun goodbye dan wassalam. Sungguh sangat
menyedihkan.
Lumayan lama, hari-hari yang saya lalui selalu seperti itu. Ditemani dengan lamunan dan ratapan nasib yang nggak pernah bisa ditebak. Hingga pada suatu ketika, tanpa disadari saya menyetel sebuah rekaman pengajian salahsatu guru besar di al-Azhar, Syekh Ali Jumah, beliau mengutip sebuah kata mutiara seorang ahli hikmah ternama, Ibnu Athaillah al-Sakandari, yang bunyinya kurang lebih kayak gini:
سوابق الهمم لا تخرق أسوار الأقدار
Semangat
yang membara tidak akan dapat menembus dinding takdir
Yah, seperti itu lah. Sebesar apa
pun semangat manusia yang menggebu, cita-cita luhur yang tertanam, tetap tidak
akan dapat menembus dinding takdir Tuhan. Manusia punya usaha, Tuhan punya
kuasa.
Comments
Post a Comment