Renungan 14 Juli 2014

Setelah beberapa tahun vacum dari aktivitas coret-coret dan goyang pena, di awal tahun ini saya akan kembali membangkitkan spirit dunia tulis saya yang telah lama terkubur. Bertahap, tapi pasti dan continue.

Oke, untuk postingan ini saya akan bercerita sedikit tentang pahitnya kehidupan yang saya lalui. Bukan sebuah keluhan, lebih pas nya berbagi cerita. Bagaimana saya melewati masa ababil, lalu labil, kemudian berlanjut pada masa stabil. Yah, ababil-labil-stabil. .

Sudah menjadi sunnah kehidupan, bahwa setiap manusia hidup di dunia ini dengan nasibnya masing-masing. Jika seseorang punya mobil mewah, hidup di tengah kecukupan berlebih, itulah nasibnya. Anda punya nasib kehilangan uang ratusan geneh, yah, itu emang udah nasib Anda. Dan harus diterima dengan penuh pelajaran :P Dan saya, nasib saya, yang menjadi bagian dari cerita hdup saya adalah telat kuliyah karena tertinggal di tingkat yang sama selama tiga tahun. Tiga tahun, jika waktu selama itu tidak ada kendala dalam kuliyah, belajarnya mulus, maka kita cuma butuh setahun lagi untuk nyelesain studi di universitas dan menyandang gelar BA ato Lc.

Sejak saya lahir ke dunia sampe saya nulis ini, itu adalah masa terparah yang saya lalui. Masa suram dan penuh kegelapan. Nggak ada tujuan hidup yang jelas. Semua prinsip yang tertanam dari jauh-jauh hari entah ke mana ngumpetnya. Yang pastinya nggak ada di saku celana :v

Akhirnya, pada suatu ketika, keadaan demikian membuat saya duduk termangu di sebuah balkon rumah di kelilingi dedaunan layu dan kering. Teringat beberapa patah kata:

Masa gemilang telah pergi
entah kemana
Masa suram ada di depan mata
Masa kebangkitan masih belum bisa diraba
kapan waktunya tiba
Semua gelap gulita
Lilin tak menyala
Obor pun tak ada
Lampu? Sungguh sayang,
ini zaman baheula. . .


Hidup ini indah, jika kita menikmatinya. Namun terlalu sering jatuh malah akan merusak keindahannya. Kenapa saya harus tinggal di tingkat yang sama lebih dari waktu normal? Apa sebabnya? Nggak belajar? nggak juga. Nggak ngerti pelajaran dan bahasanya? Ah, itu masalah sepele. Sejak SD saya sudah disuguhin buku-buku berbahasa arab. Ato terserang bebel otak? Duh, gawat ini. Pokoknya emang udah gaSwat dan nggak bisa diganggu gugat. Namun nggak menutup kemungkinan jika dua hal di atas memang benar-benar saya alami. Nyatanya, dari sekian banyak matakuliah, beberapa di antaranya baru bangat saya bisa cerna pembahasannya ketika saya berada di tahun ke tiga, tahun goodbye dan wassalam. Sungguh sangat menyedihkan.

Lumayan lama, hari-hari yang saya lalui selalu seperti itu. Ditemani dengan lamunan dan ratapan nasib yang nggak pernah bisa ditebak. Hingga pada suatu ketika, tanpa disadari saya menyetel sebuah rekaman pengajian salahsatu guru besar di al-Azhar, Syekh Ali Jumah, beliau mengutip sebuah kata mutiara seorang ahli hikmah ternama, Ibnu Athaillah al-Sakandari, yang bunyinya kurang lebih kayak gini:

سوابق الهمم لا تخرق أسوار الأقدار
Semangat yang membara tidak akan dapat menembus dinding takdir


Yah, seperti itu lah. Sebesar apa pun semangat manusia yang menggebu, cita-cita luhur yang tertanam, tetap tidak akan dapat menembus dinding takdir Tuhan. Manusia punya usaha, Tuhan punya kuasa. 

Comments