Karakter Santri Ideal Menurut Perspektif Kitab Ayyuhal Walad
Seruan untuk menghidupkan kembali warisan pendidikan Islam merupakan faktor penting dalam kebangkitan komprehensif bagi umat Islam - jika bukan faktor pertama - karena renaisans pendidikan yang diharapkan adalah pengaruh efektif yang mendorong terjadinya renaisans ilmiah, sosial dan politik. Oleh karena itu berkiblatnya umat Islam pada teori dan aturan pendidikan dari luar ajaran Islam dalam sistem pendidikan Islam itu sendiri adalah hal yang memprihatinkan. Sebab ini merupakan indikasi ketergantunan dari rayuan komprehensif yang masih diderita masyarakat kita sampai sekarang.
Seruan itu adalah tagline besar yang mencakup teori pendidikan, psikologi dan pengalaman-pengalaman generasi terdahulu di bidang ini karena tidak mungkin peradaban yang makmur itu ada tanpa landasan pendidikan, lembaga, dan sistem pendidikan. Kembalinya umat ini ke warisan Pendidikan Islam klasik bertujuan menelusuri ide dan gagasan yang hingga kini masih relevan, bukan pula berarti kita terjebak di masa lalu. Kembalinya umat Islam ke warisan pendidikan Islam membuat kita menapaki jalan tanpa kekosongan laiknya umat yang baru lahir dan minim pengalaman, tetapi kita berjalan dengan arahan pengalaman dan kemajuan generasi terdahulu. Sehingga kita akan lebih percaya diri sebagai sebuah bangsa dan umat dalam menerapkan konsep pendidikan dan psikologi yang kita miliki, serta merupakan bagian otentik dari budaya kita.
Turats, dengan demikian ditransformasikan dari fungsi yang diturunkan pendidikan kepada generasi muda di masa lalu hingga menjadi menjadi sumber utama berupa ide, prinsip dan nilai yang relevan yang dapat kita ambil untuk membangun kembali sistem Pendidikan, menentukan program, rencana dan tujuannya. Penelitian di bidang karakter santri ideal merupakan hal penting dalam warisan pendidikan Islam. Hal itu dikarenakan problematika yang dihadapi dunia pendidikan saat ini telah terkontaminasi budaya asing dan jauh dari nilai-nilai ajaran Islam.
Imam “Al-Ghazali” ( 450 AH - 505 AH / 1058 M - 1111 M) adalah salah satu pelopor warisan pendidikan Islam. Ide-idenya menjadi perhatian di berbagai studi, penelitian, diskusi panel dan bunga rampai. Hal ini dikarenakan relevansi teori dan gagasan pendidikannya yang kuat jika disandingkan dengan banyak sudut pandang pendidikan kontemporer saat ini. Buku “Ayyuhal Walad” (Wahai Ananda:red) adalah pesan yang ditulis oleh Imam Al-Ghazali yang berjumlah dua puluh enam pesan. Pada buku tersebut tertulis nasehat, ide dan pandangan Imam Ghozali yang mencakup solusi untuk sejumlah problematika pendidikan kontemporer saat ini; krisis etika, krisis penelitian ilmiah, krisis tujuan dan krisis filsafat pendidikan.
Karakter Santri Ideal
Empat pesan utama yang disampaikan oleh Imam Ghazali dalam kitabnya Ayyuhal Walad. Pertama aspek akidah yaitu akidah yang lurus dan tidak melenceng. Kedua aspek akhlak vertical atau hubungan hamba dengan Allah (hablun minallah), pertaubatan yang tulus (taubatun nasuh) dan tidak kembali pada perilaku tercela (la tarji’u ba’dahu ilaz zallah). Ketiga aspek akhlak horizontal (hablun minannas). Dan keempat aspek ibadah atau fikih (Iqtida’ asy-syar’i).
Aspek Akidah
Pembahasan akidah menjadi pesan dominan dalam kitab “Ayyuhal Walad”. Hal tersebut bertujuan untuk membentuk akidah yang lurus (اعتقاد صحيح ) dan tidak melenceng (لا يكون فيه بدعه). Akidah yang lurus dan tidak melenceng adalah akidah ahlussunnah wal jamaah yang mengikut pendapat Imam Asy’ari dan Maturidi. Penanaman akidah yang kuat dalam diri santri adalah hal terpenting yang ditekankan pada buku ini.
Dalam membentuk akidah yang lurus, Imam Ghazali mengacu pada konsep-konsep penting seperti konsep ‘ubudiah (penghambaan) dan tawakkal. Ubudiah mencakup tiga hal; pertama menjaga perintah agama. Kedua rela dengan ketetapan dan takdir Allah, rela dengan apa yang telah Allah tentukan, dan ketiga meninggalkan kepuasan diri sendiri (ترك رضاء نفسك) dalam menggapai keridhaan Tuhan. Sedangkan tawakkal yakni percaya kepada Allah dengan apa yang telah Dia janjikan. Tawakal juga berarti percaya bahwa apa yang telah ditetapkan untuk hambaNya pasti akan datang bahkan ketika semua orang di dunia berusaha untuk menghalanginya. Demikian pula sebaliknya hal-hal yang tidak tertulis atau ditetapkan untuk hambaNya tidak akan didapat bahkan jika seluruh dunia membantunya.
Bentuk tawakkal yang disebutkan Imam Ghazali adalah bahwa seseorang tidak mempermalukan dirinya sendiri dihadapan siapa pun demi mendapatkan rezeki. Imam Ghazali mencontohkan nasehat dari Al-Shibli bahwa jika kita melihat orang berusaha keras untuk mencari makan dan penghidupan sampai ia jatuh ke dalam hal yang syubhat dan haram serta merendahkan dirinya sendiri dan kemuliaannya, maka hendaknya merenungkan firman Allah:
﴿ وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ﴾ [هود : 6]
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh)”
Kemudian Akupun menyadari bahwa rezekiku semua sudah diatur oleh Allah hingga aku menyibukkan diri dengan beribadah dan taat kepada-Nya.
Perihal ketakwaan Imam Ghazali merujuk pada nasehat dari Al-Shibli, “Aku melihat sebagian orang yang mengira bahwa kehormatan dan kebanggaan mereka adalah memiliki banyak pengikut dan sanak saudara, lalu dia tertipu oleh semua itu. Sebagian orang yang lain percaya bahwa kehormatan dan kemuliaan adalah memiliki banyak harta dan keturunan, lalu mereka berbangga diri. Sebagian kelompok lagi percaya bahwa kemuliaan didapat dengan cara merampas harta orang lain dan membunuhnya. Ada juga kelompok orang yang percaya bahwa kemuliaan didapat dengan cara berpoya-poya dan menghamburkan harta.”
Maka aku merenungkan firman Allah: إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ. Akupun memilih takwa sebagai kemuliaan, Adapun yang mereka percaya dan yakini semua itu adalah batil.
Aspek Akhlak Vertical (Hablun minallah)
Sudah sepatutnya seorang santri memberikan perhatian atas hubungannya dengan Tuhannya. Pada aspek ini Imam Ghazali menuliskan tentang pertaubatan yang tulus, dengan tekad tidak akan melakukan perbuatan tercela kembali. Santri juga dapat mengelola waktu dengan baik, yaitu menggunakan waktu malam untuk produktivitas keilmuan, ibadah, menghidupkan sepertiga malam untuk qiyamullail, dan bermunajat.
Bentuk lain menjaga hubungan dengan Allah yang dicontohkan Imam Ghazali adalah dengan memperbaiki niat. Karena niat menjadi pondasi vital bagi santri di setiap aktivitasnya. Ketika santri belajar tiap malam hingga waktu tidurnya berkurang, namun tujuan utamanya adalah kesenangan dunia, meraih pangkat dan jabatan, serta berbangga-bangga dihadapan orang lain, maka dia tergolong santri yang rugi. Oleh sebab itu, niat dalam belajar sepatutnya untuk menghidupkan ajaran Nabi Muhammad SAW, mengendalikan hawa nafsu, dan mendidik akhlak.
Mengamalkan ilmu menjadi karakter yang tidak dapat dipisahkan bagi santri dan kaitan hubungannya dengan Allah. Karena ilmu adalah amal, ilmu yang tidak diamalkan adalah sia-sia. Ilmu, menurut Imam Ghazali adalah wasilah yang mengantarkan seorang hamba pada ketaatan. Oleh sebabitu, Ibadah wajib menjadi argument yang jelas tentang wajibnya mengamalkan ilmu dan beramal dengan ilmu.
Aspek Akhlak Horisontal (Hablun minannas)
Dalam pesan singkat yang ditulis pada buku “Ayyuhal Walad”, Imam Ghazali menuliskan delapan nasehat, empat nasehat untuk di lakukan, dan empat nasehat lainnya untuk ditinggalkan. Nasehat yang pertama hindari perdebatan. Karena perdebatan dapat menimbulkan sifat tercela seperti riya, dengki dan permusuhan. Nasehat yang kedua hindari menasehati orang lain kecuali dengan mencontohkan dan memberikan teladan. Karena memberi nasehat adalah perbuatan mulia, namun demikian, memberi nasehat akan menjadi bencana jika tidak diiringi dengan prilaku yang sesuai. Nasehat yang ketiga jauhi bergaul dengan penguasa. Jika situasi demikian tidak dapat dihindari, maka hindari melakukan pencitraan untuk mereka, dengan cara tidak memuji atau menyanjungnya. Nasehat yang keempat: tidak menerima gratifikasi atau hadiah dari penguasa meskipun hadiah yang diberikan itu bersumber dari yang halal.
Adapun empat nasehat lainnya, menjadi karakter santri sebagai berikut, pertama: bermuamalah dengan Allah dengan cara yang Allah suka dan ridha, bukan dengan cara yang kita inginkan. Hal ini karena berkaitan dengan perintah agama dalam menjalankan kewajiban dan menjauhi larangan. Kedua: Berinteraksi dan perlakukan orang lain seperti kita ingin orang lain perlakukan kita. Sebagaimana pesan baginda Nabi “tidak sempurna iman seorang hamba sampai dia mencintai orang lain seperti mencintai dirinya sendiri”. Ketiga: Mengutamakan ilmu yang membawa pada perbaikan hati dan penyucian jiwa, mengenali sifat-sifat yang ada dalam diri, dan menjauhi diri dari keterikatan dunia. Demikian juga ilmu yang mempererat hubungan santri dengan Allah, dan menghiasi dirinya dengan sifat-sifat terpuji Keempat: Ridha dengan kecukupan, yaitu dengan tidak disibukkan urusan dunia untuk kebutuhan primer lebih dari setahun.
Aspek Ibadah atau Fikih
Jalan seorang santri terikat dengan Al-Quran dan Sunnah. Setiap aktivitas ibadah, baik itu perkataan dan perbuatan, harus sesuai dengan petunjuk syara. Oleh sebab itu, ilmu dan amal yang tidak sesuai dan mengikuti syara adalah melenceng dari petunjuk yang benar. Oleh sebab itu, pengetahuan santri akan dasar-dasar ajaran agama seperti rukun iman dan islam menjadi wajib. Demikian juga pengetahuan yang membantu terlaksananya kewajiban dengan baik dan benar seperti mengetahui syarat sah dan rukun shalat, hal-hal yang membatalkan shalat, dan lainnya.
Demikian rangkuman ini ditulis, dan menjadi referensi karakter santri ideal menurut perspektif kitab Ayyuhal Walad. Wallah a’lam. Wal hamdulillah.
Gamping, Sleman DI Yogyakarta,
Pkl 1.29 AM
6 Oktober 2022
Ziaulhaq Usri
Comments
Post a Comment