Film 'The Goat Life': Potret Realitas Pekerja India di Saudi Arabia oleh Netflix


Inspirasi Maya

Sinopsis Film

"The Goat Life" langsung menarik perhatian penonton sejak adegan pertama, di mana seorang pria terlihat meminum air dari tempat minum kambing, dan kambing-kambing tersebut melakukan hal yang sama bersamanya.

Pria itu adalah Najeeb (diperankan oleh Prithviraj Sukumaran), yang terpaksa menjalani kehidupan perbudakan di bawah kafilnya. Ia meninggalkan keluarganya dan menjual semua harta bendanya untuk mendapatkan visa yang membawanya ke Saudi Arabia dengan harapan memperbaiki kondisi finansialnya, terutama karena ia dan istrinya, Sainu (Amala Paul), sedang menantikan kelahiran anak pertama mereka.

Najeeb, yang berasal dari Kerala, berhasil mengumpulkan uang dan bersiap mengejar impian emasnya bersama seorang pemuda baik hati bernama Hakeem (K.R. Gokul).

Namun, ketidaktahuan mereka terhadap bahasa Arab menjadi hambatan besar dalam mencapai tujuan mereka, termasuk bertemu dengan perwakilan perusahaan yang seharusnya mereka tempati bekerja di bandara.

Di luar bandara, mereka dijebak oleh seorang pria Saudi yang sudah mulai menua, setelah gagal menemukan pekerja asing lainnya. Najeeb dan Hakeem mengira pria itu adalah bos mereka dan ikut bersamanya.

Semakin jauh perjalanan dan semakin gelap penglihatan mereka, semakin besar pula rasa cemas dan kebingungan yang mereka rasakan. Ketakutan semakin membesar ketika mereka akhirnya tiba di tengah padang pasir, jauh dari dunia luar, penduduk lokal, serta sesama warga asing.

Usaha mereka untuk berkomunikasi dengan kafil sia-sia, karena keduanya tidak memahami bahasa satu sama lain. Selain itu, kedua sahabat ini dipisahkan, sehingga harus mengalami kehidupan di padang pasir sendirian, tanpa teman selain kambing dan unta.

Pertanyaan yang terus menggelayuti pikiran adalah: apa yang akan terjadi pada Najeeb, dan bagaimana ia akan bertahan?

Perbudakan dan Realisme yang Mengganggu

Sutradara "Blessey" menyadari betapa pentingnya naskah ini ketika pertama kali menerimanya, serta tantangan besar dalam mengadaptasinya ke layar lebar, mengingat sensitivitas dan kompleksitas cerita yang diangkat.

Dia tahu persis bagaimana menyoroti penderitaan sang tokoh utama, fase-fase perbudakannya, hingga kemerosotan kondisi mental dan fisiknya. Blessey berhasil menghadirkan realisme yang mengganggu dan menyakitkan dalam mengisahkan detail cerita ini. Film ini berdurasi hampir tiga jam, di mana setiap fase - dari perbudakan hingga pelarian - dibahas dengan mendalam, bahkan sampai batas kejenuhan. Namun, cara penulisan skenario dan alur cerita yang lancar membuat pengalaman menonton tetap menyenangkan.

Ditambah dengan karakter-karakter dramatis yang diciptakan dengan cermat, berkat kemampuan akting tinggi dari para pemeran. Khususnya, aktor Prithviraj Sukumaran yang memerankan Najeeb dengan luar biasa. Kita bisa melihat transformasi yang dialaminya akibat lingkungan keras yang memaksanya beradaptasi, di mana ia tidak memiliki kendali atas apa yang terjadi. Tempat di mana ia mengalami hari-hari dan malam-malam paling gelap, tidak membedakannya dari ternak, bahkan ternak memiliki nilai yang lebih besar.

Blessey sering membawa kita kembali ke kehidupan Najeeb di India, setiap kali kita merasakan beratnya penderitaan Najeeb di gurun, mengingatkan kita akan nilai dan kemanusiaannya melalui mimpi dan kenangannya, ke dunia yang lebih akrab dan penuh kehidupan. Tidak seperti dunia di mana ia hampir melupakan bahasa komunikasi, akibat menyatu dengan hewan dan kekejaman manusia di sana, yang kadang dilunakkan oleh momen-momen dengan kawanan kambing, seperti adegan di mana anak kambing kecil membantunya mengumpulkan kawanan.

Sinematografi memainkan peran penting dalam menegaskan kekerasan cerita secara dramatis dan keindahan artistiknya, dengan menyajikan gambaran hidup yang penuh dengan emosi campur aduk sepanjang perjalanan Najeeb dan Hakeem. Termasuk menampilkan lingkungan asal Najeeb, pemandangan luas gurun, badai, dan bukit pasir.

Selain itu, musik latar dirancang untuk memperkuat nilai adegan dan membanjirinya dengan emosi yang sering ditekan oleh naskah. Ada juga perpaduan musik yang menarik antara budaya India dan Arab.

Film "The Goat Life" telah memicu kontroversi besar di kalangan masyarakat Saudi dan negara-negara Teluk lainnya. Banyak yang menyerukan boikot terhadap platform streaming "Netflix" karena merasa film ini merendahkan negara-negara Teluk dan sistem kafil yang menarik tenaga kerja asing ke wilayah tersebut.

Kritik juga diarahkan kepada Yordania dan Aljazair karena pengambilan gambar film ini dilakukan di kedua negara tersebut, sehingga muncul teori konspirasi bahwa ada kerja sama antara kedua negara dan India untuk merendahkan martabat Arab Saudi.

Meskipun kisah "The Goat Life" yang berlatar pada tahun 1990-an ini didasarkan pada peristiwa nyata, di mana karakter kafil, Talib Al-Balushi, digambarkan sebagai sosok yang tidak manusiawi dan merampas hak-hak dasar pekerjanya, penting untuk diingat bahwa perilaku seperti ini tidak bisa digeneralisasi kepada seluruh masyarakat.

Film ini juga menyoroti sisi positif manusia, termasuk kebaikan dan kemurahan hati masyarakat Teluk. Hal ini terlihat dari karakter pria Arab, Akif Najm, yang membantu tokoh utama, Najeeb, dan menunjukkan belas kasih dengan membawanya ke kota di Saudi. Contoh lain dari kebaikan ini juga ditampilkan melalui interaksi dengan polisi dan pusat tahanan.

Kontroversi ini juga melibatkan tudingan bahwa film tersebut adalah bagian dari upaya untuk merusak citra Arab Saudi, namun sebaiknya dipahami bahwa film ini hanya merepresentasikan cerita individu dan bukan cerminan dari keseluruhan masyarakat Teluk.

Comments