Skip to main content

Featured post

Sekedar Nanya

  Hanya sebuah pertanyaan: Mengapa sang penyair berkata: " Ala laita as-syababa ya‘udu yauman... fa-ukhbirahu bima fa‘ala al masyibu " (Oh, seandainya masa muda kembali walau sehari... agar bisa kuceritakan apa yang telah dilakukan usia tua)? Mengapa ia tidak berkata, " Ala laitat at-tufulata ta‘udu yauman " (Oh, seandainya masa kanak-kanak kembali walau sehari)? Mengapa masa muda dan bukan masa kanak-kanak? Apakah karena seseorang yang berada di usia muda akan lebih memahami dan menyadari apa yang dilakukan usia tua dibandingkan seorang anak kecil? Padahal, anak-anak zaman sekarang memahami segalanya. Apakah ada alasan lain untuk lebih memilih masa muda dibandingkan masa kanak-kanak? Padahal, saya sering mendengar banyak orang mengatakan bahwa masa terindah adalah masa kanak-kanak, dan mereka berharap bisa kembali menjadi anak kecil lagi. Tentu saja, saya tidak tahu apakah ada alasan lain selain itu, karena maknanya ada di "perut penyair." Dan ini adalah ...

Tidak Semua yang Diinginkan Manusia Dapat Diraih

Tidak Semua yang Diinginkan Manusia Dapat Diraih

Pernahkah kita merasa ingin segalanya berjalan sesuai keinginan? Tentu saja pernah. Kita semua punya harapan, keinginan, bahkan mimpi besar. Tapi kenyataannya, tidak semua bisa kita capai saat itu juga. Bahkan Rasulullah ï·º, manusia pilihan Allah, pun pernah menginginkan sesuatu yang harus beliau tunda atau bahkan tinggalkan demi alasan yang lebih besar. Kisah ini mengajarkan kita tentang pentingnya bijaksana dan dewasa dalam menghadapi keterbatasan.

Kisah Rasulullah ï·º dan Ka’bah

Ketika Rasulullah ï·º berhasil menaklukkan Makkah pada tahun ke-8 Hijriyah, beliau memiliki kedudukan tertinggi dan dihormati oleh semua. Meski begitu, ada tiga hal yang beliau inginkan terkait Ka’bah, tetapi tidak bisa dilaksanakan.

1. Mengembalikan Ka’bah ke fondasi Nabi Ibrahim عليه السلام.

2. Menjadikan pintu Ka’bah sejajar dengan tanah.

3. Menambahkan dua pintu: satu untuk masuk dan satu untuk keluar.


Mengapa tidak dilakukan? Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah رضي الله عنها, Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa hal ini tidak beliau lakukan karena kaumnya baru saja meninggalkan masa kekufuran. Beliau khawatir perubahan besar ini akan membuat masyarakat salah paham atau bahkan menimbulkan fitnah.

Pelajaran Berharga dari Kisah Ini

1. Kepentingan Umum Selalu Lebih Penting

Rasulullah ï·º mengajarkan kita untuk mendahulukan stabilitas dan kemaslahatan umat, meskipun harus mengorbankan keinginan pribadi. Ibnu Mulaqqin menjelaskan bahwa terkadang, kita perlu meninggalkan kebaikan tertentu jika hal itu justru dapat menimbulkan keburukan yang lebih besar.

Nasihat ini juga tampak dalam ucapan Umar bin Abdul Aziz kepada anaknya yang bertanya mengapa ayahnya tidak segera melaksanakan semua kebaikan:

"Allah mengharamkan khamr dalam Al-Qur’an secara bertahap. Jika aku memaksakan semua kebenaran sekaligus, mereka mungkin akan menolaknya, dan ini bisa menjadi penyebab fitnah."

2. Mengikuti Syariat Walau Berat

Ada kalanya, mengikuti perintah Allah terasa berat karena bertentangan dengan keinginan kita. Namun, di situlah letak pengorbanan seorang Muslim. Contohnya, Umar bin Khattab رضي الله عنه pernah berkata saat menyentuh Hajar Aswad:

"Aku tahu engkau hanyalah batu yang tidak bisa memberi manfaat atau mudarat. Jika bukan karena aku melihat Rasulullah ï·º menyentuhmu, aku tidak akan melakukannya."

3. Merenungkan Hikmah Syariat

Merenungkan hikmah di balik syariat adalah sesuatu yang baik dan memperkaya iman. Misalnya:

Mengapa bacaan shalat Zuhur dan Ashar dilakukan pelan (sirr), sementara Maghrib, Isya, dan Subuh dibaca dengan lantang (jahr)?

Mengapa puasa enam hari di bulan Syawal memiliki keutamaan besar, hingga setara dengan puasa sepanjang tahun?

Namun, meskipun kita tidak selalu tahu atau memahami alasan di balik syariat, itu tidak menjadi alasan untuk menyimpang darinya.

Kesimpulan

Kisah ini mengajarkan kita bahwa tidak semua yang kita inginkan bisa diwujudkan saat itu juga. Terkadang, ada kebijaksanaan yang lebih besar di balik keterbatasan tersebut. Rasulullah ï·º menunjukkan teladan bagaimana menempatkan kepentingan umum di atas keinginan pribadi, bersikap sabar, dan memprioritaskan kemaslahatan bersama.

Jadi, mari belajar menerima keterbatasan kita dengan hati yang lapang. Percayalah, syariat Allah selalu bertujuan untuk kebaikan, bahkan jika terkadang sulit dimengerti oleh logika kita.

Ingatlah, kebijaksanaan, kesabaran, dan kepatuhan pada syariat adalah jalan menuju kehidupan yang lebih baik!

Comments

Popular posts from this blog

Kata-kata Kotor/Hinaan/Ejekan dalam Bahasa Arab Mesir (1)

Kata Panggilan untuk Teman/Orang yang Lebih Tua dalam Bahasa Arab

Kata-kata Kotor/Hinaan/Ejekan dalam Bahasa Arab Mesir (2)

Tahun 2024 Sudah Mau Berakhir: Resolusi Belum Tercapai? Yuk Belajar dari Nabi!

Anjuran Islam untuk Menyediakan Pendidikan yang Setara bagi Perempuan