Hanya sebuah pertanyaan: Mengapa sang penyair berkata: "Ala laita as-syababa ya‘udu yauman... fa-ukhbirahu bima fa‘ala al masyibu" (Oh, seandainya masa muda kembali walau sehari... agar bisa kuceritakan apa yang telah dilakukan usia tua)? Mengapa ia tidak berkata, "Ala laitat at-tufulata ta‘udu yauman" (Oh, seandainya masa kanak-kanak kembali walau sehari)? Mengapa masa muda dan bukan masa kanak-kanak? Apakah karena seseorang yang berada di usia muda akan lebih memahami dan menyadari apa yang dilakukan usia tua dibandingkan seorang anak kecil? Padahal, anak-anak zaman sekarang memahami segalanya. Apakah ada alasan lain untuk lebih memilih masa muda dibandingkan masa kanak-kanak?
Padahal, saya sering mendengar banyak orang mengatakan bahwa masa terindah adalah masa kanak-kanak, dan mereka berharap bisa kembali menjadi anak kecil lagi. Tentu saja, saya tidak tahu apakah ada alasan lain selain itu, karena maknanya ada di "perut penyair." Dan ini adalah jawaban yang selalu saya berikan dalam ujian bahasa Arab ketika ditanya tentang makna sebuah bait puisi: "Maknanya ada di perut penyair." Tentu saja, saya selalu gagal ujian karena ternyata maknanya ada di buku teks sekolah, bukan di perut penyair.
Karena saya belum melewati usia muda, saya belum bisa merasakan emosi yang terkandung dalam bait puisi itu. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk memikirkannya dari sudut pandang berbeda, sebagai ungkapan semata, tanpa melibatkan emosi yang belum bisa saya rasakan sekarang. Mungkin nanti, ketika saya berusia 60 tahun, dan rambut saya memutih, saya akan memahami maknanya—jika saja saya tidak mewarnai rambut saya. Namun, untuk saat ini, saya akan memikirkan mengapa masa muda lebih dipilih dibandingkan masa kanak-kanak. Bukan dari sudut pandang sang penyair, melainkan dari sudut pandang saya sendiri. Artinya, saya akan berpikir, seandainya saya yang menulis bait puisi itu, mengapa saya memilih masa muda, bukan masa kanak-kanak?
Bayangkan saja, jika saya yang berkata, "Ala laita as-syababa ya‘udu yauman." Tentu, alasannya ada di perut saya, bukan di perut penyair. Setiap orang lebih tahu apa yang ada di perutnya sendiri. Mari kita mulai berpikir. Mengapa masa muda, bukan masa kanak-kanak? Mungkin karena masa muda berarti kekuatan, kesadaran, dan kedewasaan. Namun, bukankah masa kanak-kanak juga berarti kepolosan, bermain, kegembiraan, dan bebas dari tanggung jawab? Siapa yang tidak ingin kembali menjadi anak kecil lagi, bermain dan bersenang-senang? Kedua fase kehidupan itu memiliki keindahan masing-masing.
Saya terus memikirkan, jika saya yang menulis bait puisi itu, mengapa saya memilih masa muda, bukan masa kanak-kanak? Pasti ada sesuatu dalam masa kanak-kanak yang membuat saya tidak ingin kembali ke sana. Saya mencoba mengingat-ingat masa kecil saya. Mungkin dengan mengingatnya, saya akan menemukan jawabannya.
Saya mulai dengan mengingat masa kecil saya di bangku kelas 6 SD—fase yang lebih dekat ke masa "kenakalan" daripada masa kanak-kanak. Saya mengingat lelucon-lelucon yang saya lontarkan di depan keluarga dan membuat mereka merasa malu di depan tamu karena tidak lucu sama sekali. Kalau ada yang tertawa, itu pasti karena mereka berusaha menutupi rasa malu. Setelah itu, saya tidak menemukan hal lain yang membuat saya ingin kembali ke masa kecil. Jadi, saya mencoba melihat foto-foto masa kecil saya.
Ketika saya membuka album foto masa kecil, saya berpikir, "Seharusnya saya tidak melihat foto-foto ini!" Ada foto saya dengan mulut belepotan saus spaghetti, foto saya menangis dengan mulut terbuka lebar, dan foto saya mengenakan kerudung ibu saya. Semua itu membuat saya semakin tidak ingin kembali ke masa kecil. Saya merasa tidak ada harapan. Lalu, telepon berdering.
Di ujung telepon, ada suara sepupu saya, Mohsen, yang baru saja memiliki anak laki-laki bernama Adam. Dia mengundang saya untuk datang. Ketika saya sampai di rumahnya, saya melihat Adam sedang tidur di samping ibunya. Saya hampir menghibur Adam dengan suara "biis biis biis," tetapi tiba-tiba kenangan masa kecil saya muncul. Saya teringat cahaya terang, semuanya terlihat terbalik, dan seseorang menggerakkan tangannya di depan wajah saya. Ketika saya merasa takut dan mulai berkedip, dia malah menampar saya—entah kenapa. Saya menangis, tetapi orang-orang di sekitar saya tertawa.
Momen itu terus terulang di benak saya, hingga akhirnya saya berkata pada Adam, "Semoga Tuhan membantumu." Dan saat itulah saya memahami mengapa penyair berkata, "Ala laita as-syababa ya‘udu yauman." Itu karena masa kecil penuh dengan momen yang tidak selalu menyenangkan. Jadi, lebih baik berharap masa muda kembali, agar kita bisa berkata pada masa tua: "Beginilah dulu kalian memperlakukan saya saat kecil!"
Comments
Post a Comment