Kajian
Reguler
Batavia
Study Club (BSC)
Senin,
13 Februari 2012
Syiah,
dari dahulu hingga kini, dan bagaimana sikap kita terhadap mereka[1]
Oleh: Supriyo WR[2]
Syiah adalah salah satu
kelompok dalam agama Islam, bisa kita katakan juga sebagai pengikut yang
membela Ali bin Abi Thalib, serta keturunnya. Pengaruh Syiah sangatlah besar,
terutama di Timur Tengah, dari dulu hingga kini.
Syiah memiliki beberapa
kelompok, tetapi ada tiga kelompok besar yang sangat berpengaruh dalam sejarah,
yakni Syiah Zaidiyyah, Syiah Ismailiyyah, dan Syiah Itsna ‘Asyar. Dari ketiga
kelompok tersebut, hanya Syiah Zaidiyyah yang tercatat dalam buku-buku ulama,
sebagai satu-satunya kelompok yang ajarannya mendekati ahlu sunnah, dibanding
dengan dua kelompok lainnya yang sudah sangat menyesatkan.
Bagaimana perkembangan
Syiah dan sejarahnya, hingga bisa kokoh sampai sekarang, serta bagaimanakah
sikap kita terhadap aliran Syiah yang akan menjadi pokok masalah dalam tulisan
berikut.
II.Permulaan
Syiah
Banyak pendapat para
ulama yang mengatakan bahwa asal-muasal Syiah sejak zaman khilafah Ali bin Abi
Thalib ra, yang bertentangan dengan Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Maka ketika itu
pengikut Ali bin Abi Thalib adalah kaum Syiah, sedangkan pengikut Mu'awiyah bin
Abi Sufyan adalah kaum ahli sunnah. Tapi sebenarnya perkataan ini adalah salah.
Sesungguhnya ahlu sunnah
(di zaman tersebut) adalah yang berkeyakinan atas kebenaran (al-haq) pendapat
Ali bin Abi Thalib ketika terjadi perbedaan dalam “Siapa yang berhak atas
Khilafah”, antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awiyah. Sedangkan Mu'awiyah
sudah ber-ijtihad, tetapi belum mencapai derajat kebenaran dalam memecahkan
masalah tersebut. Maka tidak benarlah jika ada pendapat yang mengatakan bahwa
Syiah muncul ketika zaman Ali bin Abi Thalib.[3]
Dan ada juga yang berpendapat, bahwasanya permulaan Syiah setelah syahidnya Husein bin Ali Abi Thalib . Pendapat ini sangat masuk akal bagi kita. Sebab Husein bin Ali bin Abi Thalib keluar dari kekhilafahan Yazid bin Mu'awiyah, dan berangkat menuju Irak untuk memenuhi panggilan kaum Irak yang mendukung pendapat Husein tersebut. Tetapi mereka berpaling dari Husein, dan syahidlah Husein di Karbala. Setelah kejadian itu, kaum Irak menyesal karena sudah berjanji akan mendukung Husein sepenuhnya. Dan keluarlah mereka dari Daulah Bani Umayyah.
Maka perkembangan Syiah
di saat syahidnya Husein hanya sebatas perkembangan di bidang politik yang
menentang Daulat Bani Umayyah.
Setelah syahidnya Husein,
muncullah Zainal Abidin bin Husein yang membawa Syiah sama seperti ajaran
kelompok-kelompok Islam lainnya, ini tidak lain karena beliau seorang yang alim
dan zuhud. Dan beliau memiliki anak yang terkenal dengan derajat wara' serta
taqwa, mereka adalah Muhammad Al-Baqir dan Zaid. Di sinilah permulaan dari
peran Zaid bin Ali bin Zainal Abidin bin Husein yang mengklaim bahwa Ali bin
Abi Thalib lebih berhak dalam khilafah daripada sahabat Nabi lainnya (Abu Bakar
As-Siddiq, Umar bin Khattab, dan Ustman bin Affan).
Tetapi perbedaan ini
hanya dalam keutamaan khilafah atas Ali bin Abi Thalib saja, tidak dalam
Aqidah, karena aqidah kaum Syiah saat itu masih murni sama seperti ummat Islam
lainnya.
Setelah keluarnya Zaid
dari Daulah Khilafah Bani Ummayah, maka Khalifah Hisyam (ketika itu khalifah
Hisyam bin Abdul Malik yang memerintah Daulah Umayyah) geram karena
kebangkangan Zaid yang keluar dari Daulah Bani Ummayah, terbunuhlah dia pada
tahun 122 Hijriah. Muncullah setelah kematian Zaid mazhab Syiah yang kita kenal
sekarang Az-zaidiyyah, mazhab ini tersebar di Yaman.
Dan perlu kita ingat,
bahwa ketika Zaid masih hidup, ada salah satu kelompok Zaid yang bertanya
kepada Zaid mengenai pendapat beliau tentang Abu Bakar As-Sidiq dan Umar bin
Khatab, maka beliau menjawab dengan menyanjung mereka berdua, tetapi kelompok
ini malah menolak sanjungan Zaid atas mereka berdua. Kita akan mengenal
kelompok ini dengan nama “Ar-Rofidoh”, karena mereka menolak atas
kekhilafahan Abu Bakar serta Umar. Dan kelompok inilah yang nantinya mendirikan
mazhab Syiah "Itsna Asyar".
Sejak runtuhnya Daulah
Khilafah Umayyah, dan berganti menjadi Daulah Khilafah Abbasiyah pada tahun 132
Hijriah, maka muncullah kelompok baru Syiah yang bernama At-Tholobiyyin,
kelompok inilah yang menentang Daulah Abbasiyah.
Muhammad Al-Baqir
(saudara Zaid) meningga delapan tahun sebelum dibunuhnya Zaid. Beliau
(Al-Baqir) meninggalkan seorang anak Alim yang bernama Ja'far As-Sidiq. Ja'far
As-Sidiq meninggal pada tahun 148 Hijriah, dan beliau memiliki seorang anak
alim yang bernama Musa Al-Kadzim. Dan Musa meninggalkan anak yang bernama Ali
bin Musa Ar-Ridho. Ali bin Musa adalah salah satu petinggi di kelompok Syiah
At-Tholibiyyin, yang ingin membuat Daulah Islam dibawah naungan keturunan Ali
bin Abi Tholib, bukan Abbas. Maka terjadilah peperangan yang mengakibatkan
terbunuhnya Ali bin Musa pada tahun 203 Hijriah.
Setelah Ali bin Musa
terbunuh, tidak ada lagi konflik antara Syi’ah dengan Daulah Abbasiyah, selain
hanya perselisihan dalam perpolitikan. Di saat itu tersebarlah Syi’ah dengan
pesat di daerah Faris (yang kita kenal Iran sekarang), dan bangsa Faris
penganut Syiah berpendapat bahwa merekalah yang memiliki derajat tinggi
dibandingkan dengan ummat Muslimin lainnya, oleh karena itu kelompok Syi’ah di
Iran terkenal dengan nama “As-Syu'ubiyyah”.
Disinilah bersatunya
kelompok Syiah At-Tholibiyyin dengan As-Syu'ubiyyah untuk menjatuhkan daulah
Islam yang ada, tidak hanya dalam sisi politik saja, bahkan dari sisi agama
juga. Mereka membuat banyak ajaran baru dalam Islam yang bisa merusak ajaran
Islam yang murni.
Diantara penyimpangan
ajaran Syiah yang bisa merusak kemurnian Islam adalah:
a) Salah satunya adalah
pengkultusan Imamiyah. Mereka menolak khalifah yang ada, dan menggantinya
dengan Imam –imam Syiah mereka. Dan 12 Imam Syiah mereka antara lain:
1. Ali bin Abi Thalib
2. Hasan bin Ali
3. Husein bin Ali
4. Ali Zainal Abidin bin Husein
5. Muhammad Al-Baqir bin Zainal Abidin
6. Ja’far As-Shodiq bin Muhammad Al-Baqir
7. Musa Al-Kadzim
8. Ali Ar-Ridho
9. Muhammad Al-Jawwad
10. Ali Al-Hadi
11. Al-Hasan bin Ali
Al-‘Askari
12. Muhammad bin Al-Hasan
Al-‘Askari
b) Penafsiran mereka
tentang Imam Syiah yang terakhir (Muhammad bin Al-Hasan Al-‘Askari) adalah
bahwa dia belum meninggal ketika kecil, tetapi berada di ruang bawah tanah di
salah gunung, dan masih hidup hingga sekarang. Dan dia juga berperan sebagai
“Al-Mahdi” di hari nanti.
c) Mereka (khususnya
kelompok Syiah Farisiyah/ Iran sekarang) membuat peraturan mutlak yang menjadi
warisan hingga sekarang, salah satunya adalah Imam (ketua) Syiah harus dari
keturunan Ali bin Abi Thalib, dan diikuti selanjutnya jika Imam Syiah wafat.
d) Mereka (kelompok Syiah
Farisiyah) mensucikan Imam Syiah dan berhak atas penentuan peraturan. Imam
Syiah suci dari segala kesalahan dan dosa, dan perkataan Imam Syiah adalah
peraturan yang harus ditaati oleh kaum Syiah semuanya.
e) Mereka sangat memusuhi
sahabat-sahabat Nabi Muhammad Saw, termasuk di dalamnya memusuhi Abbas, paman
Rasulullah Saw serta anaknya, Abdullah bin Abbas. Bahkan kelompok Syiah
mengkafirkan para sabahat.
f) Mereka menyatakan
bahwa beberapa kota Islam adalah tempat kafir, dan mengkafirkan penduduk
Madinah, Mekkah, Syam, dan Mesir.
g) Mereka tidak menerima
seluruh pendapat dan ijtihad Ulama Sunnah, serta menolak semua buku-buku Sohih
Sunnah, seperti Bukhori, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Syafi’i, Imam Hanbali, dan lainnya.
h) Karena kelompok Syiah
menolak serta tidak menganggap riwayat hadist para sahabat dan tabi’in, maka
mereka berpegang teguh terhadap perkataan Imam Syiah untuk pedoman ajaran
mereka, walaupun riwayat Imam Syiah itu dalam derajat dho’if.
i) Pesatnya ajaran Syiah
terlebih setelah meninggalnya Imam ke-sebelas mereka (Al-Imam Al-Hasan
Al-‘Askari). Banyak buku-buku tentang pemikiran dan pemahaman yang dibuat oleh
ulama Syiah, dan disebarkan di Faris (Iran) khususnya, dan negara-negara Islam
lainnya.
III.Perkembangan
Syiah dari dahulu hingga sekarang
Setelah Al-Hasan
Al-‘Askari (Imam Syiah ke-sebelas) meninggal, Syiah pecah menjadi beberapa
kelompok, dan setiap kelompok Syiah memiliki ajaran masing-masing. Dan diantaranya
yang paling terkenal adalah kelompok Syiah Itsna ‘Asyariyah, tetapi ada
lagi kelompok yang paling berbahaya diantara kelompok Syiah, yaitu Syiah
Ismailiyah dan Syiah Al-Qoromitoh.
Syiah Ismailiyah berdiri
atas usaha seorang Rahib Yahudi yang ingin menyesatkan ummat Islam, yaitu
Maimun Al-Qoddah. Dia mengaku bahwa dia adalah seorang muslim, padahal tidak.
Dia selalu bersahabat dengan Muhammad bin Ismail bin Ja’far As-Shidiq.
Maimun memiliki taktik
yang sangat picik dalam menyebarkan Syiah Ismailiyah, diantaranya:
a) Memberi nama anaknya
dengan nama Muhammad (Abdullah), agar suatu saat ummat Yahudi mengklaim bahwa
anak Maimun Al-Qoddah adalah keturunan Muhammad bin Ismail bin Ja’far As-Shodiq
(termasuk keturunan dari Rasulullah).
b) Syiah Ismailiyah
mengklaim juga bahwa yang berhak atas kepemimpinan Daulah Islam harus dari
keturunan Ismail Ja’far As-Shodiq.
c) Banyak dari ajaran
Syiah Ismailiyah dibuat oleh Maimun Al-Qoddah yang sangat menyimpang dari
ajaran Islam sebenarnya.
d) Diantara ajaran
menyimpang itu adalah Syiah Ismailiyah menuhankan Imam mereka.
e) Bukan hanya itu saja,
mereka juga tidak menganggap akan peran sahabat Nabi, bahkan mereka menghina
Rasulullah Saw, tetapi dilain sisi, mereka menyatakan bahwa mereka adalah
keturunan Nabi Saw.
f) Dan yang paling keji
dari perbuatan mereka, dengan membunuh kebanyakan ulama ahli Sunah di beberapa
daerah Islam.
Beberapa petinggi Syiah
Ismailiyah yang memiliki peran penting dalam menyebarkan ajaran mereka, yaitu
Husein Al-Ahwazy (dia termasuk pendiri ajaran Syiah Ismailiyah), dan bertugas
di Busroh, Irak. Juga Hamdan bin Asy’at, tapi ada yang mengatakan bahwa dia
bukan muslim, melainkan Majusi Faris (Iran sekarang), dan ada juga yang
mengatakan bahwa dia adalah seorang Yahudi Bahrain. Julukan bagi Hamdan ketika
itu “Qurmut”, yang nanti akan menjadi nama kelompok “Al-Qoromitoh”, cabang dari
Syiah Ismailiyah.
Syiah Al-Qoromitoh adalah
kelompok yang paling dekat dengan pencapaian penguasaan atas Daulah, tidak lain
karena atas usaha Rustam bin Husein yang menyebarkan ajaran ini di Yaman, serta
membuat Daulah Qoromitoh di sana. Dari sanalah tersebar ajaran ini ke Magrib
dan Bahrain.
Salah satu perbuatan
mereka yang amat tercela adalah pembunuhan atas jamaah Haji, penghancuran
Masjidil Haram, di hari At-Tarwiyah pada tahun 317 Hijriah, serta pencurian
Hajar Aswad dari Ka’bah ketika itu. Hajar Aswad tersebut ditaruh di Ibukota
Syiah Al-Qoromitoh selama 22 tahun, lalu pada tahun 339 Hijriah,
dikembalikannya kepada tempat asalnya, Ka’bah.
Kelompok selanjutnya,
Syiah Ismailiyah yang menjadikan salah satu daerah di Magrib, serta menganggap
daerah itu cocok untuk menyebarkan ajaran mereka, dan pengusungnya Abu Abdillah
As-Syi’i. Di sinilah asal mulanya Daulah Syiah sebenarnya, setelah mengangkat
Ubaidillah bin Al-Husein bin Ahmad bin Abdullah bin Maimun Al-Qoddah menjadi
Imam Mahdi bagi mereka. Bahkan mereka menganggap bahwa para imam sebelum
Ubaidillah (keturunan Ismail bin Ja’far As-Sodiq) terhapus. Lalu mereka membuat
Daulah baru dengan nama “Al-Fatimiyah”, diambil dari Sayyidah Fatimah binti
Rasulullah Saw.
Daulah Fatimiyah (Syiah
Ismailiyah) menyebarkan ajarannya dan wilayah kekuasaan ke bagian utara Afrika
(Mesir) atas usaha komandan perang mereka, Jauhar As-Soqli Al-Ismaili di zaman
Mu’iz Al-‘Abidi memimpin Syiah (Seharusnya bukan Daulah Fatimiyah, tapi Daulah
“Al-‘Abidi”). Setelah itu didirikanlah kota Kairo, serta Masjid Azhar, dan dari
sanalah tersebar Syiah Ismailiyah ke seluruh Mesir, Hijaz, dan Syam. Penyebaran
Syiah Ismaliyah pesat sekali, hingga terhapusnya ajaran tersebut di zaman
kekuasaan Solahuddin Al-Ayyubi tahun 567 Hijriah.
Kelompok selanjutnya adalah
kelompok Syiah Itsna ‘Asyar, dari inilah muncul banyak kelompok hingga
sekarang, seperti kelompok Bani Saman (kelompok asli Faris/ Iran) yang berkuasa
di Iran dari tahun 261 Hijriah hingga 389 Hijriah, dan Bani Hamdan (kelompok
asli Arab dari Kabilah Bani Tagollub) yang berkuasa di Irak dari tahun 317
Hijriah hingga 369 Hijriah, diteruskan dengan kelompok Halab dari tahun 333
Hijriah hingga 392 Hijriah. Dan kelompok setelah itu Bani Bawaih (kelompok asli
Faris) yang berkuasa di Iran pada saat Daulah Abbasiyah tahun 334 Hijriah. Iran
ketika itu berada di bawah naungan Daulah Abbasiyah hingga tahun 447 Hijriah
sampai berganti Daulah As-Salajiqoh As-Sunah. Karena besarnya pengaruh dan
kekuasaan Daulah Sunnah atas negeri Iran yang cukup lama, maka mereka memiliki
dendam atas daulah tersebut sehingga banyak penghinaan atas para sabahat Nabi
Saw di setiap pintu Masjid, dan pelecehan terhadap Abu Bakar dan Umar bin
Khatab di setiap khutbah mereka.
Di penghujung abad
ke-empat Hijriah, hilanglah Daulah Al-Qoromitoh, dan di tahun 447 Hijriah, dan
juga lenyapnya Daulah Bani Bawaih. Sedangkan Ismailiyah Al-Abidiyyun masih
bertahan hingga tahun 567 Hijriah, tapi setelah itu hilanglah juga daulah
mereka. Selepas itu, kembalilah Ajaran Islam yang hakiki di beberapa daerah
Islam, walaupun masih ada pengaruh Syiah Itsna ‘Asyariah di Iran dan Irak.
Pada tahun 907 Hijriah,
berdirilah kelompok Syiah Ismail As-Sofi, dan juga dia mendirikan Daulah
As-Sofwiyah As-Syi’iyah Al-Itsna ‘Asyariah di Iran, serta menjadikan kota Tibriz
Ibukota daulah mereka. Pada tahun 920 Hijriah, terjadi peperangan sengit antara
Daulah Islam Utsmaniyah dengan Daulah As-Sofwiyah, dan kemenangan berada pada
Daulah Utsmaniyah atas Irak ketika itu.
Pada tahun 1735 Masehi,
jatuhlah Daulah As-Sofwiyah dan pecah menjadi beberapa kelompok kecil Syiah di
Iran.
Sekarang Iran masih
dibawah naungan ajaran Syiah yang diketuai oleh Al-Khumaeni As-Syi’iyah Itsna
Asyar.
IV.Bahaya
Syiah
Seiring berjalannya
waktu, banyak orang, khususnya ummat Islam yang tidak mengetahui apa itu Syiah,
dan sejarah Syiah dari dahulu hingga kini. Itu berdampak buruk bagi umat kita
yang awam, dan bisa jadi Syiah dianggap dan setara dalam empat mazhab yang ada
(Syafi’I, Hanbali, Hanafi, dan Maliki). Dan juga banyak dampak buruk Syiah,
tidak hanya di dalam masalah furu’iyah (di agama Islam), bahkan juga di masalah
ushuliyah yang seharusnya tidak bisa diganggu gugat. Diantara siasat Syiah yang
menjadi dampak buruk bagi kita adalah sebagai berikut:
a) Syiah memfitnah para
sabahat Nabi Saw (Abu Bakar As-Shidiq, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, dan
lainnya), contohnya: tidak menerima riwayat hadist dari para sahabat Rasulullah
Saw. Seharusnya mereka (Syiah) sadar bahwa yang mengumpulkan Al-Qur’an menjadi
satu di zaman khalifah Abu Bakar As-Sidiq, dan dijadikan mushaf di zaman
khalifah Utsman bin Affan. Begitu pula harusnya mereka (Syiah) ingat akan
hadist Nabi Saw:
عليكم بسنتي و سنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي
(رواه الترميذي)[4]
Begitu pula harusnya
mereka (Syiah) mengerti bahwa Sahabat Nabi Saw memiliki andil dalam penyebaran
agama Islam yang hakiki. Tetapi Syiah tetap saja menolak dan menghina para
sahabat Nabi Saw, diantaranya:
v Semua Syiah Itsna ‘Asyar yang tersebar di Iran, Irak, dan
Lebanon pasti meyakini akan hinanya para sahabat Nabi Saw, oleh karena itu
mereka tidak akan menghormati para sahabat Nabi Saw.
v Terjadinya perdebatan sengit antara DR. Yusuf Qordowi dengan
Rafsanjani (pemuka Syiah) di channel Al-Jazeera. Ketika itu Rafsanjani dengan
bangganya menghina sahabat Nabi Saw, tapi dijawab DR. Yusuf Qordowi dengan
memuliakan para sahabat Nabi Saw. Begitu pula ketika ada soal yang diajukan
kepada Khamaeni tentang hukum menghina sahabat Nabi Saw, dia tidak menjawab
dengan tegas itu Halal apa Haram, melainkan dijawab olehnya jikalau itu membuat
perpecahan diantara ummat Muslim maka hukumnya haram syar’an.
b) Bahayanya penyebaran
pemahaman Syiah di Negara-negara Islam, seperti yang kita ketahui sekarang di
Iran, Irak, Lebanon, Bahrain, Suria, Yordania, Uni Emirate Arab, Mesir,
Afganistan, Pakistan, dan Yaman. Bahkan yang paling berbahaya jika mereka
mengaku bahwa mereka adalah ahlu sunnah, tetapi berpola pikir Syiah.
c) Terjadi pembunuhan
massal lebih kurang 100,000 muslim Sunni oleh Syiah di Irak pada tahun
2003-2006.
d) Termaktub di buku
Ushul Syiah, bahwa Khamaeni menulis di buku Al-Hukumah Al-Islamiyyah, bahwa
para imam Syiah memiliki derajat lebih tinggi yang tidak bisa dicapai oleh Nabi
sekalipun, oleh karena itu ketika ada fatwa “takfir” oleh Imam Syiah atas
muslim Sunni di Irak, mereka (Syiah) menuruti tanpa ada pertanyaan sedikitpun.
Sehingga pembunuhan massal tidak terelakkan.
e) Ketika Revolusi Iran
pada tahun 1979, tersebarlah kabar ini ke seluruh penjuru dunia, bahkan di Arab
Saudi. Maka pada tanggal 19 November tahun 1979, terjadi huru-hara di Masjidil
Haram oleh kaum Syiah.
V.Sejarah
Syiah di Lebanon- Hizbullah dari dahulu-hingga kini
Di Lebanon, berdiri
kelompok Syiah dengan nama “Hizbullah”, dan di sana terdapat 18
kelompok, sedangkan ada tiga kelompok yang cukup terkenal dan besar di Lebanon,
yaitu kelompok Muslim Sunnah, kelompok Syiah Itsna ‘Asyar, dan kelompok Nasroni
Al-Muwarinah.
Zaman keemasan Hizbullah
terjadi pada tahun 1959 M, tidak lain karena peran penting dari Musa As-Sodri.
Dia lahir pada tahun 1928 M di kota Qumm, Iran. Dan dia belajar mazhab Itsna
‘Asyar di sana, lalu melanjutkan jenjang pendidikannya di Universitas Qumm, di
sana juga dia belajar banyak ilmu fiqih dan mantiq. Setelah itu dia berhijrah
ke kota Najaf, Irak pada tahun 1954 M untuk belajar lebih dalam tentang Syiah.
Selepas itu barulah dia pergi ke Lebanon pada tahun 1959 M, hingga akhir
usianya.
Musa As-Sodri datang ke
Lebanon dengan membawa dua misi penting:
a) Dia membawa ajaran
Syiah dan ingin mendirikan Daulah Syiah di Lebanon. Karena dia tahu ketika itu
orang-orang Syiah di Lebanon hanya mengenal Syiah sekedar nama saja, tapi tidak
mengetahui lebih dalam mazhab Syiah.
b) Dia membawa harta
melimpah ke Lebanon untuk memudahkannya dalam menyebarkan ajaran Syiah disana.
Karena di kala itu para pemuka Syiah memiliki derajat serupa dengan Ahlu bait
Rasulullah Saw (menurut mereka), jadi mereka berhak atas harta 20 % dari
tabungan Syiah.
Perlu kita ketahui kenapa
Musa As-Sodri begitu mengetahui seluk beluk Lebanon, karena dia hafal dan jeli
akan asal-usul Lebanon serta kebutuhan masyarakat Lebanon ketika itu. Begitu
pula harus kita ketahui hubungan dia dengan Khumaeni bukan sekedar hubungan
politik saja, melainkan karena Khumaeni menikah dengan anak perempuan dari
kakak perempuan Musa As-Sodri, begitu pula anak Musa As-Sodri menikah dengan
cucu perempuan Khumaeni.
Tempat pertama yang
disorot oleh Musa As-Sodri dalam menyebarkan ajaran Syiah di sana adalah bagian
barat Lebanon, karena di sana sangat banyak pengikut Syiah ketika itu.
Pertama kali yang dia
lakukan adalah mendirikan tempat perlindungan serta pertolongan bagi kaum fakir
miskin, juga dibangunnya sekolah-sekolah, dan rumah sakit di sana. Inilah
permainan Musa As-Sodri dalam menyebarkan ajaran Syiah di Lebanon. Terlebih
lagi dia mengetahui bahwa kelompok Nasroni Al-Maruni adalah kelompok terkuat
dan disegani di Lebanon ketika itu, dan ajaran Islam sunnah tidak diwajibkan
pengajarannya disana.
Maka Musa As-Sodri melobi
kelompok Nasroni Al-Maruni serta bersahabat dekat dengan kelompok itu, karena
dia tahu Syiah di Lebanon bisa berdiri dan berkembang hingga sekarang, karena
pecahan dari ajaran Islam sunnah. Dari sinilah dia mengarang cerita bohong
tentang para sahabat Nabi Saw. Puncak kejayaan Syiah di Lebanon terjadi pada
tahun 1967 M. Ketika itu diadakan perkumpulan sesama Syiah yang menghasilkan
didirikannya Majlis Besar Islam Syiah di Lebanon, dan Musa As-Sodri menjadi
ketua pertama.
Setelah diangkatnya Musa
As-Sodri menjadi ketua Majlis Besar Islam Syiah Lebanon, terjadilah hubungan
dekat dengan Amerika dan Syiria. Bahkan dia membuat pasukan bersenjata Syiah
dengan alasan untuk membantu Lebanon jika ada peperangan, serta pengukuhan
resmi pasukan bersenjata Syiah pada tahun 1975 M dengan nama “Afwaj
Al-Muqowamah Al-Libnaniyyah”.[5] Tapi amat sangat disayangkan dengan nasib
Musa As-Sodri, karena tidak terdengar kabar mengenai dia setelah tanggal 25
Agustus 1978.
Sepeninggalan Musa
As-Sodri, Syiah di Lebanon diketuai oleh wakilnya, Abdul Amir Qublan, dengan
bantuan seorang pemuka Syiah terkenal ketika itu, Husein Fadlullah. Dan dari
mereka berdualah berdiri pasukan bersenjata Syiah dengan nama “Harokatul
Amal”. Pasukan ini terpecah menjadi dua. Pertama adalah pasukan “As-Syi’i
Almani”, mereka ingin berperan dan ikut andil dalam penyebaran Syiah
Lebanon, tanpa ada campur aduk dengan ajaran mazhab Syiah Itsna ‘Asyar. Pasukan
ini dipimpin oleh Nabeh Bari. Sedangkan kedua adalah pasukan yang ingin
meneruskan perjuangan Musa As-Sodri. Oleh karena itu, pasukan ini bekerja sama
langsung dengan Syiah Iran. Tapi amat disayangkan, pasukan ini belum memiliki
pemimpin yang secakap pasukan As-Syi’i Almani.
Di zaman krisis
kepemimpinan tersebut, muncullah dua orang dari Najaf, Irak, yang menjadi guru
Aqidah Syiah di sana. Mereka itu adalah Abbas Al-Musawi dan Hasan Nasrullah.
Mereka membantu pasukan Harokatul Amal yang ada di Lebanon. Pada bulan Februari
1985, berdirilah Hizbullah, pengganti Harokatul Amal Islamiyyah.
Pada tahun 2006 hingga
sekarang, Hizbullah Lebanon dikomandani oleh Hasan Nasrullah, seorang pemuka
Syiah yang disegani oleh kaumnya. Kita mengetahui bahwa Hizbullah Lebanon ingin
menjadikan Negara Lebanon sebagai basis kekuatan Syiah, bahkan ingin dijadikannya
menjadi daulah Syiah Lebanon, seperti Iran sekarang. Dan masyarakat Lebanon
sekarang sadar akan bahaya Syiah jika melebarkan sayapnya ke seluruh penjuru
Lebanon. Mereka tahu bahwa maksud Hizbullah Syiah ingin mendirikan Daulah di
Lebanon tidak lain hanya ingin menambah pasukan bersenjata dan kekuatan militer
bagi Syiah, dan ini yang ditakutkan masyarakat Lebanon kebanyakan.
Banyak sejarah kelam yang
dicorehkan Hizbullah Lebanon yang harus kita ketahui, diantaranya adalah:
a) Hizbullah ingin
menjadikan Lebanon sebagai daulah Syiah yang berkuasa, padahal dahulu Syiah di
Lebanon hanya kelompok kecil saja yang bermukim di sana.
b) Konflik antara Yahudi
dan Hizbullah bukan karena perbedaan aqidah, tetapi tidak lain hanya kepentingan
politik masing-masing (seperti perebutan tanah di Lebanon).
Yang menjadi pertanyaan
bagi kita, apakah kita percaya bahwa Syiah akan turut andil dalam peperangan,
hanya dengan alasan membantu Sunni? Sesungguhnya ini mustahil. Bahkan Syiah
Lebanon dalam kurun waktu sepuluh tahun tidak membantu sepenuhnya atas ummat
Muslim Palestina yang selalu disiksa oleh Yahudi, apakah kita pernah memikirkan
sampai kesana? Tetapi mereka (Syiah) berkoar bahwa tanah Palestina adalah hak
Muslim Palestina juga. Sungguh ini harus menjadi renungan bagi kita.
Bahkan ketika ada ajakan
dari DR. Mustofa As-Saba’i (pemuka Ikhwanul Muslimin Syiria) untuk menyatukan
antara kaum Syiah dan Sunni di saat terjadi peperangan pada tahun 1948 M, untuk
membebaskan tanah Palestina bagi Muslim Palestina terhadap kedzoliman Yahudi,
apakah jawaban Syiah atas ajakan tersebut? Mereka menolak ajakan beliau.
Begitu pula ketika
terjadi Perang pada tahun 1967 antara Palestina dan Yahudi, Syiah tidak
membantu sedikitpun terhadap Muslim Palestina . Padahal Musa As-Sodri (ketua
Syiah di Lebanon ketika itu) menyatakan syi’arnya yang terkenal dengan nama “As-Silah
Zinata Ar-Rijal”.
Maka dari sini kita bisa
mengetahui bahwa Syiah tidak akan pernah membantu ummat Muslim di seluruh
dunia, mereka hanya mementingkan kepentingan Syiah semata, dan ini sudah
diketahui oleh Amerika, ketika terjadi invasi besar atas Irak. Bukti tersebut
ada ketika Syiah Irak tidak membantu atas rakyat dan pasukan Irak melawan
kekejaman Amerika.
Kekuatan Syiah di
Lebanon, Iran, dan Irak akan menjadi besar suatu saat dan akan menjadi hantu
malam yang menakutkan bagi muslim seutuhnya, dan bisa jadi suatu saat akan
menguasai negeri Islam lainnya, seperti Mesir, Arab Saudi, Yordania, dan
lainnya.
Inilah yang harus kita
waspadai akan gencarnya gerakan Syiah di masa kini. Karena sejarah Syiah yang
mengatakan buruknya perbuatan dan perilaku Syiah.
c) Sesungguhnya jika ada
pertolongan Syiah terhadap muslim lainnya, tidak lain hanya karena ada maksud
semata. Bukankah kita mengetahui betapa bencinya Syiah terhadap sahabat-sahabat
Nabi Saw, bahkan menghina Nabi Saw sendiri. Dan puncaknya terjadi dengan
pembunuhan jamaah Haji. Bukankah kita mengetahui huru-hara yang dilakukan
Syi’ah di Masjdil Haram ketika terjadi Revolusi Syiah di Iran. Bahkan terjadi
pencurian atas hajar aswad dan pengrusakan terhadap Ka’bah oleh Syi’ah dahulu.
d) Perlu kita ketahui
siapa sebenarnya Hasan Nasrullah. Dia adalah seorang yang berpengaruh besar di
kaum Syi’ah, bahkan dia sangat cerdas dan lihai dalam bermain politik di
Lebanon. Inilah yang perlu kita camkan bahwa Hasan Nasrullah adalah penganut
mazhab Syiah Itsna ‘Asyar, dia meyakini bahwa para sahabat Nabi Saw (Abu Bakar
As-Sidiq, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan) merebut kekhilafahan terhadap
Ali bin Abi Thalib.
Dia juga meyakini bahwa Rasulullah
Saw mewasiatkan akan adanya 12 Imam nantinya (12 Imam Syiah maksud mereka).
Dan dia juga meyakini
bahwa Imam yang ke-12 sesungguhnya tidak mati, tetapi berada di ruang bawah
tanah, dan masih hidup hingga sekarang. Yang nantinya akan menjadi Imam Mahdi.
Dan dia juga meyakini
bahwa ulama Syiah berhak atas 1/5 pemasukan Syiah (karena ulama Syiah dianggap
sebagai Ahlu Bait Nabi Saw). Seperti halnya dia juga harus tunduk terhadap
Mursyid Iran (Khamaeni) di dalam segala apapun.
Mungkin kebanyakan dari
kita bertanya-tanya, bagaimana kita bisa tahu kepribadian Hasan Nasrullah
seperti yang saya sebutkan di atas, bisa jadi Hasan Nasrullah tidak pernah
menghina para sahabat Nabi Saw. Maka saya katakan sekali lagi, inilah keyakinan
mazhab Syiah Itsna ‘Asyar. Seperti halnya kita tidak akan pernah tahu tetangga
muslim kita, apakah dia benar-benar muslim atau tidak, karena kita tidak pernah
mendengar dia mengucapkan syahadat didepan mata kita. Tetapi toh kita yakini
tetangga kita juga muslim, walaupun tidak harus menyebutkan syahadat secara
jelas di depan kita. [6]
VI.
Cerita Yaman
Yaman adalah salah satu
daerah yang masyarakatnya beriman dan masuk ajaran Islam ketika zaman
Rasulullah Saw. Dan masyarakat Yaman juga memiliki andil besar dalam setiap
Futuhul Islamiyyah. Tidak hanya itu saja, Yaman adalah salah tempat yang
menjadi gudang ilmu bagi kebanyakan pelajar, hingga banyak dari mereka yang
belajar kesana, seperti Imam Ahmad Hanbali.
Pada tahun 199 Hijriah,
yaitu pada zaman Khalifah Al-Ma’mun, ada seorang Syiah Zaidiyah, Muhammad bin
Ibrohim Thobathiba dari Kufah, Irak, yang mengutus anak pamannya, Ibrohim bin
Muhammad ke Yaman agar ajaran mereka tersebar luas.
Dan kita sudah tidak
asing lagi dengan ajaran Syiah Zaidiyah, yang didirikan oleh Zaid bin Husein
bin Ali bin Abi Thalib. Hanya golongan inilah yang tidak melenceng aqidahnya
satupun dari ahli sunnah (ketika itu). Mereka berpedoman kepada Al-Qur’an dan
hadist dalam sehari-harinya, hanya saja, mereka memiliki pandangan berbeda
dalam keutamaan Khalifah. Karena menurut mereka Ali bin Abi Thalib yang lebih
pantas atas khilafah daripada Abu Bakar As-Sidiq, Umar bin Khatab, dan Ustman
bin Affan. Tetapi mereka tetap menghormati ketiga sahabat Nabi Muhammad Saw.
Begitu pula kelompok
Syiah Zaidiyah tetap solat berjamaah dengan ummat muslim lainnya, dan tetap
menghormati semua sahabat Nabi Saw, dan mereka tidak mengikuti satupun dari
mazhab Syiah Itsna ‘Asyar. Bahkan penulis kitab “Nailul Author”, Imam Syaukani,
adalah seorang penganut Syiah Zaidiyah Yaman. [7]
Kita kembali kepada
cerita Kholifah Al-Ma’mun (ketika itu masih zaman Daulah Abbasiyah) yang
berhasil melumpuhkan kekuatan revolusi Syiah Zaidiyah di Kufah (atas prakasa
Muhammad bin Ibrohim Thobathiba), tetapi Kholifah Al-Ma’mun belum berhasil
melumpuhkan Syiah Zaidiyah di Yaman (yang ketika itu diketuai oleh Ibrohim bin
Muhammad).
Maka Kholifah Al-Ma’mun
melakukan diplomasi dengan Ibrohim bin Muhammad, untuk membolehkan Syiah
Zaidiyah di Yaman, dengan syarat tetap berada di bawah naungan Daulah
Abbasiyah.
Pada tahun 284 Hijriah,
Yahya bin Husein Ar-Rusi bisa mendirikan daulah Zaidiyah di Yaman dikenal
dengan “Daulah Bani Ar-Rusi” (Daulah A’immah), karena ketika itu lemahnya
pengaruh dan kekuasaan daulah Abbasiyah atas daerah kekuasaannya.
Seiring berjalannya
waktu, pengaruh Syiah Ismailiyah yang dahulu tidak ada di Yaman, mulai tersebar
dikit demi sedikit, yaitu di daerah Selatan Yaman. Kita sudah mengenal bahwa
ajaran Syiah Islamiliyah adalah ajaran yang sangat menyimpang dari ajaran Islam.
Penyebaran ini terjadi pada tahun 290 Hijriah, dan ajaran mereka hilang begitu
saja dengan cepat pada tahun 304 Hijriah.
Pada abad ke-5 Hijriah,
jatuh pula Daulah Al-Ya’fariyah (daulah aliran sunni yang berpisah dari
daulah Abbasiyah di Yaman sebelum daulah Bani Ar-Rosi). Dan pada abad itu juga
makin lemahnya pengaruh daulah Zaidiyah. Dari sinilah dilanjuti oleh daulah
An-Najahiyyin (dari tahun 403 Hijriah hingga 555 Hijriah). Begitu pula muncul
beberapa daulah Ismailiyah yang berbahaya, yaitu daulah Bani Solih (dari tahun
439 Hijriah hingga 532 Hijriah). Dan daulah Bani Zari’ (dari tahun 467 Hijriah
hingga 569 Hijriah). Dan juga daulah Bani Hatim (dari tahun 533 Hijriah hingga
569 Hijriah). Dari kesemua daulah Ismailiyah di Yaman berada dibawah naungan Daulah
Abidiyah (Daulah Fathimiyah) di Mesir dan Syam, hingga jatuhnya Daulah
Fathimiyah oleh Solahuddin Al-Ayyubi (pada tahun 567 Hijriah).
Pada abad ke-10 Hijriah,
Yaman terpecah menjadi dua pemerintahan, yaitu Pemerintahan Ustmaniyyun
(pengaruh dari Turki Ustmani), dan pemerintahan Zaidiyyun.
Ternyata di Yaman tidak
hanya Syiah Zaidiyah dan Ismailiyah saja yang berkembang, di sana juga terdapat
Kelompok Syiah Hautsiyyin.
Kelompok ini bermula pada
tahun 1986 M, tepatnya Timur kota Son’a, Yaman. Di sana terdapat kelompok besar
Syiah Zaidiyah, di bawah kepemimpinan Badruddin Al-Hautsi. Dia adalah seorang
alim ulama Syiah Zaidiyah.
Pada tahun 1990 M,
terjadi peristiwa besar di Yaman, yakni penyatuan seluruh wilayah Yaman. Di
sinilah Husein Badruddin Al-Hautsi (anak Badruddin Al-Hautsi) memiliki andil
dalam kepentingan Syiah Zaidiyah, yaitu menjabat sebagai salah satu anggota
parlemen pemerintah Yaman, dari tahun 1993 sampai dengan 1997.
Dan seiring berjalannya
zaman, terjadi perselisihan antara Badruddin Al-Hautsi dengan ulama-ulama Syiah
Zaidiyah mengenai fatwa imamah Syiah Zaidiyah di Yaman. Menurut Mujiddin
Al-Mu’ayyadi (ketua ulama-ulama Syiah Zaidiyah yang menentang pandangan
Badruddin) bahwa siapa saja berhak atas menjadi imam Syiah Zaidiyah di Yaman,
tanpa harus dari keturunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib, maupun Husein bin Ali
bin Abi Thalib.
Maka pendapat ulama-ulama
tersebut ditentang keras oleh Badruddin Al-Hautsi, terlebih Badruddin adalah
penganut kelompok “Al-Jawardiyah” (salah satu kelompok Syiah Zaidiyah,
yang memiliki pola pikir serupa dengan Syiah Itsna ‘Asyar. Oleh karena itu, dia
membikin buku yang berjudul “Az-Zaidiyah fi-l-Yaman”. Buku itu mengulas
adanya hubungan dekat antara Syiah Zaidiyah dan Syiah Itsna ‘Asyar, padahal
seharusnya tidak demikian. Akibat perdebatan sengit ini antara dia dengan
ulama-ulama Syiah Zaidiyah Yaman lainnya, dia terdesak dan hijrah menuju
Teheran, Iran, dan tinggal di sana dalam beberapa tahun.
Seiring berjalannya
waktu, hingga tahun 1997, ternyata ajaran dan pemikiran Syiah Itsna ‘Asyar
mulai menyebar. Dan di tahun yang sama, Husein Badruddin Al-Hautsi memisahkan
diri dari Partai Al-Haqq, lalu bergabung dengan kelompok “tsaqofiyah diniyah
fikriyah” dari aliran sunni (Partai “At-Tajammu’ Al-Yumna Li-l-Ishlah”).
Tetapi dia akhirnya memisahkan diri lagi pada tahun 2002 dengan membawa
pengikutnya.
Pada tahun tersebut pula,
alim ulama Yaman sepakat untuk memulangkan Badruddin Al-Hautsi dari
pengasingan. Maka akhirnya dia kembali dari Teheran, Iran.
Pada tahun 2004, terjadi
pemberontakan kelompok Syiah Al-Hautsi, atas perintah Husein Badruddin
Al-Hautsi, mereka menguasai jalan-jalan di Yaman, dengan satu tuntutan agar
ekspansi Amerika terhadap Irak dihentikan. Bahkan ketika itu pulalah Husein
Badruddin Al-Hautsi mengaku bahwa dialah Imam Mahdi, serta menganggap dirinya
sebagai Nabi.
Maka terjadilah
peperangan antara kelompok Syiah Al-Hautsiyah dengan pemerintah Yaman.
Pemerintah Yaman ketika itu mengerahkan 30,000 tentara dan pesawat-pesawat
tempur, hingga terbunuhnya pemimpin mereka, Husein Badruddin Al-Hautsi.
Dari sini kita
mengetahui, betapa dahsyatnya kekuatan Syiah Al-Hautsi, hingga pemerintah Yaman
mengeluarkan tentara sedemikan banyak untuk menahan pemberontakan mereka.
Pertanyaan yang patut kita ajukan adalah, darimanakah kekuatan senjata Syiah
Al-Hautsi? Berikut ini ada beberapa sebab kenapa Syiah Al-Hautsi memiliki
kekuatan persenjataan dan militer yang kuat:
a) Tidaklah mungkin
kelompok sekecil Syiah Al-Hautsi, yang berada di Negara Yaman (Negara kecil),
memiliki sedemikian persiapan persenjataan, melainkan mereka mendapat bantuan
dari luar Yaman, yakni Iran sebagai sekutu Syiah mereka. Karena Iran, yang
notabene sudah menjadi Daulah Syiah, menginginkan Yaman sebagai daulah Syiah
Itsna ‘Asyar. Dan jika ini terjadi, maka sudah tidak terelakkan lagi Yaman
menjadi basis Syiah, selanjutnya Irak, dan Lebanon. Yang pastinya nanti Iran
akan memiliki hasrat untuk menduduki Saudi Arabia, Kuwait, dan Bahrain. Maka
lengkaplah Semenanjung Arab dibawah naungan Syiah jika itu semua terjadi.
b) Adanya percampuran
politik (Husein Badruddin Al-Hautsi bersama kawan-kawan Syiahnya) di dalam
pemerintahan Yaman.
c) Syiah Al-Hautsiyah
mendapat bantuan dari beberapa kelompok/ suku Yaman. Sudah kita ketahui bahwa
Yaman terdiri dari beberapa suku yang masih ada dan tidak hilang hingga
sekarang. Bantuan mereka terhadap Syiah Al-Hautsiyah tidak lain karena
cerdasnya Syiah Al-Hautsiyah memerankan permainannya, dengan janji mereka akan
bersatu untuk menjatuhkan pemerintahan Yaman.
d) Ketika itu terjadinya
konflik antara masyarakat Lebanon yang menginginkan Yaman terpisah menjadi dua,
Yaman Utara, dan Yaman Selatan.
e) Adanya campur tangan
Amerika terhadap permasalahan Yaman. Amerika menginginkan Yaman agar
terpecah-belah, sama seperti halnya Amerika berhasil mengekspansi Irak,
Afganistan, dan Pakistan.
VII.Siapakah
yang berkuasa di Iran?
Kebanyakan dari kita
hanya mengetahui bahwa sistem pemerintah Iran demokrasi dan dipimpin oleh
seorang presiden, padahal kenyataannya tidak seperti itu. Oleh karena itu kita
harus kembali mengetahui sejarah Iran dari dahulu hingga kini.
Pada tahun 1989, terjadi
revolusi Iran yang diusung oleh Khamaeni atas kepemimpinan seorang diktator
Iran, Syah Balwi. Khamaeni berjanji kepada masyarakat Iran bahwa dia akan
memperbaiki pemerintahan Iran dengan secepat dan sebaik mungkin, demi maslahat
bersama. Tapi apa kenyataannya? Ternyata Khamaeni lebih diktator daripada Syah
Balwi.
Khamaeni telah membuat
peraturan baru di Iran, dengan menggabungkan sejarah Syiah, yang disebut
“Wilayatuh Faqih”. Maksud peraturan tersebut bahwa Wilayah (keberhakan dalam
kepemimpinan) harus dari Imam yang suci dari segala kesalahan dan dosa. Dan
sudah tidak dipungkiri lagi ummat Syi’ah meyakini kesucian Imam Ali bin Abi
Thalib, dan ke-11 Imam Syiah lainnya (oleh karena itu kita ketahui dengan nama
Syiah Itsna ‘Asyar, karena mereka memiliki 12 Imam Syiah, seperti yang telah
saya sebutkan dalam halaman sebelum ini).
Dan “Wilayatul Faqih”
disebut seperti demikian, karena Imam mereka yang ke-12 (menurut mereka
Al-Mahdi Al-Muntadzor) telah menjanjikan “ilmu laduni” (ilmu yang tiada
batasnya kepada siapa yang telah mencapai derajat alim dalam ajaran Syiah), dan
dia pantas akan menjadi Imam yang suci dari apapun. Dan dia juga yang akan
memimpin semua ummat Syiah di dunia ini. Oleh karena itu, bagi siapapun yang
mempercayai akan “Wilayatul Faqih”, maka mereka harus tunduk terhadap Imam Syiah
besar, yaitu Khamaeni.
Dari sinilah Khamaeni
mengambil peran penting dengan menjadikan undang-undang Iran yang baru dibawah
pengawasannya. Dan Khamaeni membikin Majlis Al-Khubro-u, yang anggotanya
dipilih dari pemilu, tetapi dengan syarat, bahwa calon anggota Majlis harus
berasal dari orang-orang Syiah Itsna ‘Asyar. Dan harus meyakini akan adanya
“Wilayatul Faqih”. Maka terpilihlah Ayatullah Ali Khamaeni menjadi Mursyid
Majlis Al-Khubro-u memimpin majlis tersebut.
Maka Mursyid Iran yang
terpilih, Ayatullah Ali Khamaeni berhak akan pengaturan dan penertiban
undang-undang Iran, serta berhak memberi perintah kepada seluruh pasukan
militer perang Iran. Dan dia pula berhak untuk mencopot pangkat seorang
petinggi dalam militer, maupun pemerintahan.
Agar kediktatoran ini
tidak terlihat, dibuatlah presiden yang menjadi kepala Negara Iran. Dia
menjabat menjadi presiden di Iran, tetapi tidak memiliki kewenangan dalam
kebijakan Iran sepenuhnya.
Dan selanjutnya, Khamaeni
membuat “Majlis pembuat Undang-undang” (fungsi majelis ini serupa dengan DPR di
Indonesia). Ironisnya, majlis ini terdiri hanya dari dua belas anggota saja,
dan enam anggota dari mereka sudah terpilih oleh Mursyid Syiah Iran (Ayatullah
Ali Khamaeni).
Di Iran ada dua partai
kuat yang memiliki andil besar dalam pemilu, yakni Partai Al-Muhafidzin
dan Partai Al-Islahiyyin. Dua partai ini ada, tidak lain hanya
partai-partai inilah yang dibolehkan oleh Mursyid Syiah Iran, dan perselisihan
diantara keduanya tidak amat besar, dibandingkan dengan perselisihan kebanyakan
partai di seluruh pemilu di negara lain.
Ahmadinejad adalah calon
presiden pertama, dia berasal dari Partai Al-Muhafidzin, dan memiliki hubungan
akrab dengan Mursyid Syiah Iran, dan dia menyakini juga dengan adanya
“Wilayatul Faqih”. Sedangkan calon presiden yang kedua adalah Husein Musiwi,
dia berasal dari Partai Al-Islahiyyin, tetapi dia memiliki andil besar dalam
Syiah di Iran. Dia juga menjadi Perdana Menteri di zaman pemerintahan Khamaeni
dari tahun 1981 hingga tahun 1989, dia pulalah yang mengakhiri sistem Perdana Menteri,
sebelum diubah menjadi sistem Presidential. Calon ketiga, yakni Mahdi Karubi,
dari Partai Islahiyyin. Dia menjadi ketua Parlemen Iran dari tahun 1989 hingga
tahun 1992. Sedangkan calon keempat, Muhsin Ridhowi dari partai Al-Muhafidzin.
Dia memiliki andil besar ketika terjadi peperangan antara Iran dan Irak dahulu.
Sebelum Ahmadinejad
menjadi presiden, Khamaeni telah memilih presiden pertama Iran di tahun 1980,
yakni Hasan Bani Sodri. Tetapi, Hasan Bani Sodri ingin memimpin Iran, selaku
presiden dengan kekuatan absolut, sama seperti dengan fungsi presiden di
penjuru Negara lainnya. Karena dia terpilih dalam pemilu 75 % dari suara rakyat
Iran.
Akhirnya Khamaeni
mencopot jabatan Hasan Bani Sodri dari presiden. Dan kita bertanya-tanya, buat
apakah adanya pemilu, jika ada seorang yang bermain kotor dibelakang ini, dan
seenaknya mencopot jabatan hanya karena presiden di Iran harus melaporkan
setiap kejadian besar, maupun kecil kepada Mursyid Iran. Kejadian ini tidak
akan pernah terjadi di penjuru negara lainnya.
Pada tahun 1989,
Ayatullah Ali Khamaeni membuat keputusan baru, yaitu “Wilayatul Faqih”, serupa
dengan “Wilayatul Rasul”. Maka tak ada seorangpun yang boleh menentangnya. Oleh
karena itu, ini menjadi sebuah musibah bagi Iran. Bagaimana seorang pemuka
agama Islam, tidak berpedoman kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw. Dan
seenaknya menentukan fatwa yang tidak bersumber kepada sumber tersebut.
Dan sampai sekarangpun
kita tahu, bahwa Iran tidak memiliki andil sama sekalipun, baik membantu
negara-negara Islam yang dijajah oleh Amerika dan Israel. Contohnya saja di
Palestina. Apakah Iran sejak dahulu hingga sekarang membantu Palestina, baik
dari bantuan pasukan, ataupun bantuan pangan dan pengobatan. Sungguh tidak sama
sekali, hasilnya nihil.
VIII. Omong
kosong Iran dan Amerika di publik
Sekarang kita membahas
kenapa Amerika tidak menghabisi Iran, sama seperti halnya Amerika menghabisi
Irak. Ada beberapa sebab dibalik itu semua:
a) Amerika adalah Negara
cerdas, yang tidak akan bertindak bodoh untuk memerangi Iran dengan begitu
saja. Padahal Amerika sekarang sudah memiliki kuasa penuh atas Irak.
b) Amerika mengetahui
pula jika memerangi Iran, maka ini bisa membuat seluruh ummat Islam di penjuru
dunia bersatu padu membantu Iran, baik Syiah maupun Sunni.
c) Sesungguhnya diplomasi
Amerika terhadap Iran yang terjadi pada tahun 1980, untuk melepaskan tahanan/
sandera akibat revolusi Iran adalah nihil/ negatif. Padahal ketika itu Amerika
sudah menyiapkan tentara khusus dan pesawat tempur khusus untuk melepaskan
sandera. Tapi tetap saja Amerika kewalahan atas Iran. Itulah kuatnya militer
Iran, sehingga jika kita ketahui, Iran memiliki Rudal balistik yang mampu
menempuh jarak hingga 3,500 Km (rudal Syihab-V).
d) Sesungguhnya sejarah
juga telah menyatakan, bahwa daulah Syiah sejak dahulu tidak pernah mengusik
dan memerangi non-muslim. Diantaranya:
v Daulah Syiah Al-Bawihiyyah tidak memerangi daulah Bizantium
Nasrani, tetapi malah memerangi daulah Abbasiyah Sunni.
v Daulah Syiah Al-‘Abidiyah (Daulah Fatimiyyah) tidak memerangi
pasukan salib Kristen di Andalusia Utara, melainkan membantu mereka dalam
memerangi Daulah Abdurrohman An-Nashir Sunni di Andalusia Selatan.
v Daulah Syiah Al-‘Abidiyah di Mesir tidak memerangi pasuka salib
Kristen ketika terjadi peperangan di Syam, maupun Palestina. Melainkan membantu
mereka dalam memerangi pasukan Daulah As-Salajiqoh Sunni.
v Daulah Syiah As-Sofwiyyah tidak memerangi Prancis, Inggris, dan
Rusia, melainkan memerangi Daulah Turki Utsmani.
v Daulah Syiah Iran tidak memerangi Rusia, tetapi malah menangkapi
pejuangang Afghanistan. Dan tidak memerangi Amerika maupun Israel, melainkan
memerangi Irak.
e) Ketika kunjungan
Ahmadinejad ke Irak pasca ekspansi Amerika di sana, melainkan mendapat
perlindungan dari Amerika. Bagaimana mungkin, Iran yang diembargo dan dikecam
Amerika untuk diperangi, mendapat perlindungan seperti itu?
f) Amerika memerangi Irak
karena mereka menuduh Irak memiliki senjata pemusnah masal, ternyata setelah
dikuasai oleh Amerika, tidak ditemukan bukti tersebut. Tapi kita lihat, apakah
Iran yang memiliki nuklir, dan kenapa tidak langsung saja diserang oleh
Amerika? Dan apakah Amerika tidak memiliki senjata pemusnah masal dan nuklir?
Jika tidak, kenapa para korban perang, baik dari warga sipil Irak, maupun tentara
Amerika terkena infeksi penyakit akibat senjata kimia yang berbahaya.
IX.Bagaimana
sikap kita terhadap ajaran Syiah?
Kebanyakan dari kita
hanya mengetahui, bahwa ummat Islam di dunia ini hanya terbagi menjadi dua,
yaitu Syiah dan Sunni. Padahal tidak demikian, dan perkataan ini adalah
kesalahan besar. Maka kita lihat ada dua alasan mengapa perkataan ini kita
anggap keliru:
a) Pengikut Syiah di
dunia ini hanya 11 % saja dari 150 Juta penduduk di bumi.
b) Sesungguhnya Syiah
tidak disebut aliran serupa dengan Sunni, karena banyak dari orang-orang Syiah,
jika sudah berkuasa di suatu tempat, akan melakukan perlakuan kejam terhadap
ummat Islam non-Syiah. Seperti huru-hara di Masjidil Haram pasca revolusi Iran
oleh Khamaeni.
Bahaya Syiah terhadap
kita sangat besar sekali, diantaranya:
a) Penghinaan Syiah
terhadap sahabat-sahabat Nabi, sampai dijadikan pedoman mereka dalam ajaran
Syiah. Seperti penghinaan sahabat Nabi Saw terjadi di media elektronik dalam
situs (www.islamstory.com).[8]
b) Bahaya akan penyebaran
Syiah bukan hanya di aqidah sesat mereka, tetapi dalam pemikiran ajaran mereka
yang sesat.
c) Banyak terbunuhnya
ummat Ahlu Sunah di Irak, atas kekejaman Syiah terhadap mereka.
d) Ancaman Syiah Irak
terhadap pemerintahan sebelum terjadinya invansi Amerika sangatlah besar.
e) Begitu pula akan
menjadi ancaman Syiah terhadap negara-negara Islam lainnya, seperti Syiah di
Emirate, Bahrain, dan Saudi Arabia. Syiah tidak akan berbuat semena-mena jika
pengikut mereka di suatu negara masih sedikit. Tapi kekejaman mereka terjadi
jika pengikut Syiah di suatu negara sudah banyak, seperti yang telah terjadi di
Irak, Iran, Lebanon, dan Yaman sekarang.
f) Adanya hubungan dekat
antara Iran dan Syiria. Seperti yang kita ketahui, bahwa Syiah di Syiria
dikenal dengan nama Syiah Nushoriyyin (atau juga Syiah ‘Alawiyyin), dan
pendiri ajaran tersebut adalah Abi Syu’aib Muhammad bin Nushoir Al-Bashri
(meninggal pada tahun 270 Hijriah). Dia menyatakan dirinya bahwa dia adalah
Nabi, dan Ali bin Abi Thalib adalah Tuhan mereka.
Sebenarnya Syiah
‘Alawiyyin di Syiria tidak lebih dari 10 % dari jumlah penduduk Syiria, tetapi
kebanyakan mereka menjabat di parlemen yang menguasai undang-undang pemerintah
Syiria.
g) Kita juga harus
menyadari akan bahaya Syiah di Iran (atas kepemimpinan Ahmadinejad) dan juga
Syiah di Lebanon (atas kepemimpinan Hasan Nasrullah) yang telah memiliki
pengikut Syiah cukup banyak.
h) Jika kita ingin
membaca sejarah dan pengetahuan akan Syiah, maka patutlah kita melihat siapa
pengarang buku tersebut, berasal dari manakah sumbernya, apakah sudah terjadi
penyimpangan sejarah dalam buku tersebut apa tidak, dan apakah sejarah Syiah di
buku tersebut sudah benar keasliannya, apa tidak.
i) Karena begitu
bahayanya Syiah akan kita, maka patutlah bagi ulama di setiap negara Islam
manapun untuk belajar banyak tentang Syiah, dan memberitahu tentang bahayanya
Syiah bagi kelangsungan ummat Islam seutuhnya.
j) Siapakah yang menolong
kaum miskin Sunni yang tinggal di Iran sekarang? Apakah kita tahu jumlah
mereka? Jumlah mereka sekarang tidak lebih dari 30% dari penduduk Iran. Dan
tidak ada seorang menteri pun di Iran yang membela hak ummat Sunni, padahal ada
kaum Sunni di Parlemen sekarang berjumlah 10% dari anggota perlemen Iran, tapi
tidak satupun yang berani mengajukan gugatan atas kedzoliman Syiah terhadap
mereka. Salah satunya adalah penghancuran masjid-mesjid Sunni di Iran,
peristiwa yang terkenal terjadi pada tahun 1994, ketika terjadi penghancuran Masjid
Jami’ Bawalah Balusytan, serta pembunuham terhadap 200 pemuda yang
menghalangi penghancuran masjid.
Oleh karena itu, wajib
bagi kita untuk berhati-hati akan segala perbuatan Syiah. Karena kebanyakn
Syiah sekarang sudah sesat.
حتى لا تكون فتنة و يكون الدين لله[9]
X.Epilog
Demikianlah sejarah
Syiah, dari dahulu hingga kini. Dari dari sini kita harus mengikat tali
kemawasan diri kita terhadap ajaran Syiah dimanapun berada. Karena, seperti
yang kita ketahui, Syiah tidak akan bertindak semena-mena, jikalau pengikut
mereka di suatu daerah/ kota/ negara sedikit. Tapi justru mereka akan bertindak
tercela jika ajaran Syiah berkembang pesat dan pengikutnya banyak, contohnya
huru-hara di Masjdili Haram oleh pengikut Syiah pasca revolusi Iran, atas usaha
Imam Syiah mereka, Khamaeni.
Akhir kalam, kemawasan
diri kita harus dengan cara yang baik, yaitu dengan berbuat “amal ma’ruf dan
nahi munkar”, sesuai cara yang terbaik yang bisa kita lakukan terhadap
ajaran sesat dalam Islam.
Wallahu’alam
bissowab.
[1] Adalah makalah sederhana
yang disampaikan pada kajian regular Batavia Study Club. Senin, 13 Februari
2012, di Rumah KPJ, Nasr City, Kairo.
[2] Hamba Allah Swt yang
masih tercatat sebagai mahasiswa al-Azhar Uneversity, tingkat III, Jurusan
Aqidah wa al-Falsafah, fakultas Ushuluddin.
[3] Ketika terjadi
musyawarah antara pihak Ali bin Abi Thalib (beliau mengutus Abu Musa
Al-Asy’ari) dan Muawiyah bin Abi Sufyan (dia mengutus Amru bin ‘Ash) dalam
penentuan khilafah.
[4] Kitabul Ilmi ‘an
Rasulillah, bab “Al-Akhdzu bisunah wa ijtinabi al-bida’.”
[5] DR. Rogib Sarjani; “Syiah:Nidhol
am Dholal”; hal. 58; Darul Kutub Al-Misriyyah; cetakan ke-2, tahun 2011.
[6] DR. Rogib Sarjani; “Syiah:Nidhol
am Dholal”; hal. 88; Darul Kutub Al-Misriyyah; cetakan ke-2, tahun 2011.
[7] DR. Rogib Sarjani; “Syiah:Nidhol
am Dholal”; hal. 93; Darul Kutub Al-Misriyyah; cetakan ke-2, tahun 2011.
[8] DR. Rogib Sarjani; “Syiah:Nidhol
am Dholal”; hal. 130; Darul Kutub Al-Misriyyah; cetakan ke-2, tahun 2011.
[9] Surat Al-Anfal, ayat
39